Mohon tunggu...
driand adi
driand adi Mohon Tunggu... -

manusia biasa yang biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Orientasi Perempuan dan Watak Masyarakat

30 April 2015   08:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:13 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ciri keluarga ini adalah pengabaian yang dingin, kalau bukan kebencian yang dingin. Jenis keluarga yang “dingin” ini adalah bentuk pertama dari dua bentuk keluarga yang acuh tak acuh dalam peradaban manusia. Dalam keluarga ini, tuntunan orang tua kepada anak-anaknya sangat kuat, mereka diharapkan mampu meraih standar penghidupan yang lebih baik. Hukuman yang diberikan apabila anak berbuat salah dilaksanakan dengan “darah dingin” yang dijatuhkan “demi kebaikanmu sendiri”. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga ini sangat terdorong bahkan cenderung bernafsu untuk meraih kesuksesan sebagaimana yang diinginkan budaya yang membesarkan mereka. Bentuk kedua dari keluarga acuh tak acuh adalah keluarga modern. Perubahan cara pandang tentang bagaimana mengasuh anak telah membuat para orang tua tidak mau lagi menjatuhkan hukuman fisik dan perasaan bersalah kepada anak-anak mereka yang bersalah. Cara ini ditukar dengan gagasan yang lebih baru, yakni dengan menjadikan anak-anak setara dengan orang tua, seorang ayah menjadi “sahabat” anaknya. Atau seorang ibu menjadi “teman curhat” anaknya. Tapi masalahnya adalah ketika mereka mengontrol emosi anak-anak, orang tua cenderung tidak terlalu tanggap. Dalam keluarga seperti ini anak-anak tumbuh tanpa tuntunan orang tua mereka. Mereka memperoleh nilai-nilai yang diperlukan untuk tumbuh dewasa dari teman-teman atau dari media massa. Lari dari keluarga sangat kentara dalam keluarga ini, yaitu konformitas otomaton. Keluarga semacam inilah yang sangat dicemaskan Fromm. Menurut Fromm keluarga sangat ideal jika orang tua bertanggung jawab dalam mendidik dan memberdayakan akal pikiran anak-anaknya dalam suasana yang penuh cinta. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga semacam ini mampu memperlihatkan kebebasan mereka dan bertanggung jawab pada diri mereka sendiri serta kepada masyarakat secara keseluruhan.

Dengan demikian kembali kepada apa yang dikatakan Mario Teguh tentang wanita sebetulnya mencerminkan keberadaan wanita itu sendiri sebagai entitas yang hadir dari masyarakat sakit. Problem eksistensialis perempuan yang sejak kecil telah dijauhkan atau dibatasi lingkup hidupnya dari ruang-ruang bebasnya (dengan pembenaran atas nama etika, adat, dan agama) membuat perempuan tidak bisa, dan tidak dibiasakan untuk menyusun konsep kebahagiaannya sendiri, yang terjadi konsep itu tersusun dari dan oleh teman sebaya dalam dinamika pergaulan maupun media massa, selain disusun pihak yang berwenang bisa ortu atau kerabat. Perempuan diposisikan sebagai manusia berharga yang justru karena dinilai berharga ini, perempuan dijauhkan dari hak pribadinya untuk bebas dan tidak diberi kepercayaan kalau perempuan memiliki kehendak baik dalam dirinya berupa tanggungjawab. Sehingga tidak aneh bila kemudian melihat seorang perempuan yang bertarung, mengejar laki-laki yang akan membuatnya menangis, dan mengabaikan laki-laki yang ingin membahagiakannya, karena pada sisi pembentukan logika berpikir perempuan kebahagiaan merupakan sesuatu yang asing hingga mesti diperjuangkan kalau perlu dengan mengorbankan dirinya untuk disakiti laki-laki (suatu potensi eksistensialis masokhis). Maklum perempuan hadir tidak dari ruang hampa tapi dari sekian dinamika masyarakat yang terlihat santun, rapi, harmonis dan agamis, tapi ironisnya justru sakit secara watak dan karakternya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun