Selamat datang dan selamat membaca
Hallo saya Erin.
Saat itu saya berumur 5 tahun. Jika dilihat dari perekonomian kami, kami tergolong di keluarga tidak mampu. Kami mempunyai rumah panggung, di sebuah kebun yang agak jauh dari pedesaan. Bisa berjarak sekitar 100 meter untuk bisa mencapai desa.
Hal ini membuat saya dan adik saya Lumi, jarang berkomunikasi dengan warga disekitar situ. Namun, karena mama dan papa kami tipikal orang yang suka membantu dan orang lain dan ramah, banyak saudara yang sering main ke rumah.
Biasanya mereka datang karena dipanggil papa untuk bekerja, atau ada yang singgah bercengkrama selesai dari kebun.
Di suatu hari, paman Muis datang ke rumah untuk membantu kerjaan papa. Paman Muis adalah sepupu papa. Saat itu mama dan Lumi sedang keluar. Saat jam makan siang, saya duduk di tangga, sambil melihat papa dan paman Muis sedang makan.
Saya menjadi bosan, karena tidak ada teman bermain. Alhasil, saya pun memainkan tanah yang ada di sekitar. Paman Muis melihat saya, dan mencoba mengajak saya bermain.
"Rin, yuk main bareng paman aja." Ajak paman Muis.
"Yey, akhirnya ada teman bermain. Emangnya mau main apa paman?" (Tanya saya dengan penuh penasaran)
"Udah ikut aja. Pokoknya permainan yang seruu bangett." (Masih membujuk)
"Wahh... Asikk. Ayok paman. Main dimana?"
"Main diatas aja yuk." (Menunjuk arah dalam rumah)
"Ga mau paman. Saya mau main diluar aja. Kalau di dalam rumah nanti dimarahin mama."
"Ga. Yok, ikut aja." (Sambil menarik tanganku menuju kamar)
"Paman, kok di kamar sih? Saya ga mau. Saya mau keluar." (Sambil merengek dan memaksa keluar)
"Diam aja Rin. Kita mau main hal yang seru banget. Dijamin kamu bakal ketagihan."
"Ga mau paman. Saya mau keluar. Papaaaa..." (Berusaha berontak dan berteriak)
Usahaku sia-sia. Mulutku dibekap oleh tanganya yang besar. Tangan orang dewasa yang seharusnya melindungiku malah menutup mulutku rapat-rapat tanpa bisa bersuara. Dan yahh... Dia melecehkanku. Perih. Saya terus berteriak dengan mulut yang dibekap, hingga papa mendengarnya dan berteriak memarahiku. Syukurlah paman bejat itu berhenti melakukan aksi bejatnya. Dia membawaku keluar.
"Jangan bilang ke siapa-siapa. Atau saya akan memukulmu." (Ancam paman Muis)
Saya takut. Saya tidak mengerti apa yang terjadi dan apa yang dilakukannya padaku barusan. Papa menghampiriku.
"Kamu kenapa sih Rin? Teriak-teriak kek orang gila." (Marah papa sambil melihatku)
"Pa, tadi Paman Muis buka celana saya, sama masukkan sesuatu." (Ungkapku jujur)
"Ga kak. Jangan percaya. Erin berbohong. Tau kan anak kecil suka berbohong." (Sanggah paman dengan nada khawatir)
"Awas yah, jika nanti kamu berbohong seperti itu lagi Rin." (Ucap papa sambil memelototiku)
Saya takut. Tapi, saya tidak bisa melakukan apa-apa. Saya "hanya" seorang anak kecil yang tidak memiliki kekuatan apa-apa, untuk membela diriku sendiri. Entah untuk melakukan perlawanan terhadap aksi pelecehan tersebut, atau meyakinkan papa.
Sejak saat itu saya diam hingga sekarang. Saya tipikal anak yang tidak bisa mengungkapkan semua yang saya rasa. Saya berharap, para calon orang tua dan orang tua dapat belajar dari pengalaman tersebut.
Â
Note: Berdasarkan kisah nyata salah seorang penyintas kekerasan seksual. Nama-nama dalam cerita tersebut hanya samaran, untuk melindungi korban dari berbagai stigma sosial di masyarakat.
Bagi yang mau kisahnya juga dibagikan dalam bentuk cerita bisa kirim di gmail berikut yahh...
k9drani@gmail.com
Salam hangat,
Minni
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H