Oh bunda..Â
ada dan tiada dirimukan selalu ....
ada di dalam hatiku!"
Hampir semua murid tampak menghayati lagu tersebut. Namun tidak dengan salah seorang murid yang duduk di meja baris kelima. Hal ini disadari oleh Bu Sira beberapa jenak sebelum alunan keyboard di hadapannya ia hentikan. Â Sekali lagi ia coba meminta siswa-siswanya itu untuk bernyanyi di setiap bait secara berkelompok.
" Ayo, meja baris kiri terlebih dahulu, disambung baris sebelahnya!"
Memang setiap minggunya bu Sira punya agenda mengadakan praktik bernyanyi bersama di kelasnya.  Bu Sira  memang fokus di vokal dan musik. Bu Sira hampir selalu berhasil membuat muridnya bersemangat di pelajaran seni budaya. Kendati demikian, pagi ini Bu Sira agak kaget setelah mengamati murid-muridnya estafet bernyanyi.  Mengapa Bulan tidak seperti biasanya? Padahal Bu Sira sudah memilih Bulan sebagai andalannya untuk perlombaan grup vokal nanti.Â
Bulan adalah remaja sekolah yang sebentar lagi akan naik ke kelas dua SMA. Sekilas awalnya memang Bulan dikenal sebagai murid yang riang. Namun bu Sira kini tidak menemukannya. Ia baru menyadari kalau ada kejanggalan di balik sorot matanya. Seperti ada kobaran api yang tidak biasa ditemukan di anak-anak seumuran mereka. Terlebih ketika sedang bernyanyi tadi, kobaran api itu dirasakan oleh bu Sira lebih jelas dan terasa panas di dadanya.
" Ya baris kelima, dari depan sampai belakang keluarkan suaranya ya!"
Bulan adalah muridnya yang duduk di meja baris kelima itu paling kanan itu. Matanya terlihat indah sekaligus kelam. Mirip seperti namanya, sorot mata Bulan bercahaya namun penuh misteri. Itu yang dapat ditangkap oleh Bu Sira mengenai bulan hari ini.
Jiwa muridnya yang satu ini sedang bersedih. Â Terdengar aneh memang. Ya, tapi begitulah kemampuan Bu Sira. Ia paham betul keadaan jiwa muridnya. Â Kemampuan itu mungkin anugrah atau itu berkat jam terbang mengajarnya. Maklum dia sudah hampir tujuh belas tahun mengajar seni. Dan kali ini juga sangat meyakini bahwa muridnya, Bulan sedang tidak baik-baik saja.