Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Yang Membuat Nasi Tumpeng Lebih "Bermartabat" Dibanding Nasi Kuning

26 April 2023   17:10 Diperbarui: 26 April 2023   17:12 1504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sarapan sebungkus nasi kuning tadi pagi. Makanan yang paling mudah ditemukan di pinggiran jalan salah satunya memang nasi kuning. Terlebih di hari libur lebaran ini.  Tatkala  makanan opor dan ketupat di meja makan sudah sirna. Sehingga pilihan makan pagi saya pun kembali ke semula.  

Ketika memakan nasi kuning itu tiba-tiba saya teringat nasi tumpeng. Mengapa nasi kuning rasa dan warnanya cenderung sama dengan nasi tumpeng? Mengapa di pinggiran jalan tidak ada yang menjual nasi tumpeng setiap pagi?

Nasi tumpeng memang berbeda dengan nasi tumpeng secara kasat mata. Kita dapat dengan mudah menemukan sejumlah hal yang membuat nasi tumpeng lebih "bermartabat"  jika dibanding nasi kuning. Baik melalui pembacaan literatur maupun pengalaman secara langsung. 

Secara bentuk dan sajian nasi tumpeng lebih bersifat filosofis 

Pertama, nasi tumpeng disajikan secara estetis dan penuh filosofi. Sedangkan nasi kuning disajikan secara ekonomis dan praktis ( bungkusan). Dalam sejumlah makalah atau karya tulis imiah, bentuk nasi tumpeng yang mengerucut itu bukan sekedar keindahan namun juga sarat nilai religiusitas.

Pilihan warna kuning keemasan pun dianggap sebagai lambang keagungan sebagai penghormatan kepada Yang Maha Kuasa. Bentuknya seperti kerucut adalah simbol menunju ke atas atau persembahan dan permohonan kepada Tuhan.  Sebagaimana rumah ibadah umat beragama yang eksis di Indonesia seperti masjid, gereja, wihara, pura, dan kelenteng, yang semuanya mengerucut.

Nasi tumpeng pun mengandung lauk-pauk  lebih banyak atau beragam dibanding sebungkus nasi kuning. Dalam sejumlah makalah menjelaskan, bahwa nasi tumpeng ditata minimal dengan tujuh macam lauk-pauk. Angka tujuh dalam bahasa Jawa adalah pitu yang bermakna pitulungan. Dapat diartikan sebagai pertolongan. Bahwa manusia hidup harus saling tolong menolong kepada sesama atau semoga Tuhan menolong kita.

Cara dan momen makan nasi tumpeng lebih ekslusif 

Kedua, sajian nasi tumpeng yang khas dan filosofis tersebut rupanya juga berkaitan dengan konteks kehadirannya. Masyarakat modern  memakan nasi kuning itu memiliki kecenderungan sifat individual sebagaimana saya tatkala sarapan pagi tadi. Sedangkan nasi tumpeng hadir dalam suasana yang lebih bersifat komunal atau kebersamaan.

Kita akan masuk pada situasi khusus ketika hendak makan nasi tumpeng. Di era kini, memakan nasi tumpeng kerap kita temukan pada acara formal seperti peringatan Hari Kemerdakaan, peresmian jalan, acara ulang tahun kantor, acara hari guru, dan lain sebagainya. Sehingga kita tidak harus sedang lapar untuk memakan nasi tumpeng.

Suasana formal menuntuk kita untuk makan bersama dengan nasi tumpeng itu sebagai bentuk kebersamaan dalam sebuah perjunagan dalam komunitas teretentu. Sehingga terkadang nasi tumpeng menjadi sarana untuk mengukuhkan harapan bersama.

Nasi tumpeng adalah makanan "lagend" yang sakral 

Ketiga, kekhususan situasi ketika memakan nasi tumpeng di masyarakat itu tercermin  dari  istilah "tumpengan" sebagai tradisi warisan budaya nenek moyang. Sebelum eksis di acara formal orang modern, nasi tumpeng ternyata sudah ada dalam momen-momen sakral di masyarakat tradisional kita.

Nasi tumpeng dapat kita anggap "lagend" karena mengandung sejarah kebudayaan nusantara. Nasi tumpeng erat kaitannya dengan tradisi dan ritual masyarakat pegunungan, di masa sebelum agama samawi. Gunung sebagai simbol wilayah suci pada masa itu, konon dianggap sebagai inspirasi bentuk nasi tumpeng yang mengerucut.  

Kondisi tersebut berkaitan dengan periode spiritualitas sebelum agama. Zaman ketika melakukan ritual dengan mempersembahkan sesuatu seperti makanan kepada roh penguasa setempat. Konon, nasi tumpeng juga berkaitan dengan urusan sesajian tersebut. Kendati demikian, nasi tumpeng kemudian menjadi salah satu sarana terbuka bagi masyarakat beragama apa pun. Kehadirannya dapat menjadi salah satu sarana berbagi, berdoa, selamatan, syukuran, dan lain sebagainya.

Ketiga poin uraian tersebut memang menggambarkan bahwa nasi tumpeng bukan sekedar kuliner atau jajanan seperti nasi kuning. Perihal mana yang lebih baik tentu akan tergantung sudut pandang. Kehadiran nasi kuning di pinggiran jalan pada era modern ini memang tidak mampu mewakili "martabat" nasi tumpeng yang sakral dan ekslusif itu. Namun yang pasti, apa yang lebih bermanfaat untuk sarapan pagi adalah yang efesien dan efektif.

Marendra Agung J.W

Libur Lebaran 2023.

Sumber literatur:

Prosiding Seminar Nasional FDI 2016, hal : Hum 63--69. ISSN. 2460-5271 ( Pergeseran Makna Sakral dan Fungsi Tumpeng di Era Globalisasi Oda I.B. Hariyanto. )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun