Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

Mengupas 4 Kelemahan ChatGPT Berdasarkan Pengakuannya Sendiri

3 April 2023   03:47 Diperbarui: 3 April 2023   18:36 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ChatGPT, chatbot berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence) bikinan OpenAI.(KOMPAS.com/ Galuh Putri Riyanto)

Belakangan ini, dunia media sosial Indonesia diramaikan oleh kehadiran benda baru yaitu ChatGPT. Para peneliti, mahasiswa, dosen, guru, wartawan, tentu telah berkenalan dengan salah satu model AI (Kecerdasan Buatan) terbaru itu. Ada yang menyambut baik, ada yang agak panik, dan ada yang biasa-biasa saja mungkin karena belum mencoba.

Saya pun telah mencoba berinteraksi dengan AI chatbot bernama ChatGPT itu melalui web Openai. Kendati sangat membantu saya dalam mencari data-data informasi, namun ada sejumlah pertanyaan yang saya ajukan tak mampu dijawab dengan baik oleh ChatGPT. Bukan karena susunan kalimat yang saya ajukan tidak benar, namun rupanya benda cerdas ini memang belum sesempurna akal manusia sungguhan.

Berangkat dari ketidakpuasan tersebut, saya pun iseng memberi pertanyaan kepada ChatGPT tentang kelemahan dirinya sebagai mesin pintar. 

Saya mengetik, "Apakah Anda memiliki kelemahan dalam menjawab pertanyaan -pertanyaan?" Lantas, dia pun menjawab berdasarkan pengakuannya sendiri, ke dalam 4 poin uraian berikut ini. 

1. ChatGPT masih memiliki keterbatasan pengetahuan

" Walaupun saya memiliki akses ke banyak informasi, namun saya hanya dapat memberikan jawaban berdasarkan informasi yang telah dipelajari atau terkait dengan pengalaman yang telah diprogramkan dalam sistem saya. Saya tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang tidak memiliki dasar pengetahuan." (Jawaban dari ChatGPT)

Perihal kelemahan pertama ChatGPT yang diakui oleh ChatPTT ini sangat akurat. Sebab, menurut sejumlah pengamat,  data-data penelitian terbaru setelah tahun 2021 belum masuk ke database openai /ChatGPT. Sehingga jika kita mengajukan pertanyaan terkait ilmu atau informasi baru yang belum terdata oleh sistem ChatGPT, maka tidak akan mampu dijawab oleh ChatBOX.

Menurut penjelasan lebih lanjut dari ChatGPT, topik pengetahuan atau informasi akan diupgrade oleh openai/ChatGPT berdasarkan masukan-masukan yang telah dilakukan oleh tim pengembang mereka. 

Kendati demikian, saya juga coba bertanya soal pengetahuan lama, namun itu tidak diketahui dengan baik oleh ChatGPT. Mungkin itu karena  data atau sumber literasinya tidak ada di database mereka. 

Ilustrasi Artificial Intelligence (Sumber: Pixabay.com)
Ilustrasi Artificial Intelligence (Sumber: Pixabay.com)

Misalnya, ketika saya mengetik, " Dapatkah anda menyebut nama asli raja brawijaya?" Rupanya ChatGPT tak mampu menyebutkannya. 

Ia menjawab seperti ini, "Raja Brawijaya sebenarnya adalah sebutan gelar bagi sejumlah raja di Kerajaan Majapahit, yang berkuasa di Jawa pada abad ke-14 hingga awal abad ke-16. Oleh karena itu, tidak ada satu nama asli yang bisa disebutkan untuk Raja Brawijaya secara spesifik. Beberapa raja yang dikenal dengan gelar Raja Brawijaya di antaranya adalah Brawijaya I (berkuasa sekitar tahun 1350-1389), Brawijaya II (berkuasa sekitar tahun 1474-1513), dan Brawijaya V atau terkadang disebut Brawijaya terakhir (berkuasa sekitar tahun 1521-1525). Namun, untuk nama asli dari masing-masing raja tersebut masih diperdebatkan dan tidak ada kesepakatan yang pasti. "

 2. ChatGPT tidak dapat memberikan penilaian moral

"Saya tidak memiliki kemampuan untuk menilai keputusan moral atau etika dari suatu tindakan. Saya hanya dapat memberikan informasi yang objektif dan fakta yang tersedia, tetapi tidak dapat memberikan pandangan moral atau etika." (Jawaban ChatGPT.)

Kelemahan kedua ini agak menggelitik. Sebab, sebagai mesin pintar yang mampu mengolah banyak data informasi, ChatGPT mengaku tidak mampu memberi opini, khususnya yang berkaitan dengan penilaian baik-buruk. 

Misalnya, ketika saya bertanya tentang nama-nama tokoh politik yang cocok untuk menjadi presiden Indonesia, dia menjawab lebih bijak dibandingkan dengan para buzzer politik yang kerap menjatuhkan lawan politik bosnya. Berikut ini jawaban ChatGPT, 

"Sebagai AI, saya tidak dapat memihak pada satu tokoh politik tertentu atau memberikan rekomendasi pilihan politik tertentu. Sebagai gantinya, dalam memilih pemimpin Indonesia, sebaiknya kita mempertimbangkan beberapa faktor penting, seperti kualifikasi dan rekam jejak kandidat, program dan visi yang diusung, dan kemampuan kandidat dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan. Kedua tokoh yang Anda sebutkan memiliki rekam jejak dan pengalaman yang berbeda dalam bidang politik dan kepemimpinan. Oleh karena itu, sebaiknya kita mempelajari kualifikasi dan program masing-masing kandidat secara cermat, untuk memilih kandidat yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi bangsa Indonesia."

3. ChatGPT tidak dapat memberikan interpretasi yang kompleks 

"Saya mungkin kesulitan dalam memberikan interpretasi yang kompleks, terutama jika pertanyaannya terkait dengan teks atau bahasa yang ambigu atau memerlukan interpretasi yang lebih dalam." ( Jawaban dari ChatGPT)

Sejumlah pertanyaan yang saya berikan beberapa kali tidak dijawab dengan pasti. ChatGPT malah memberikan saran untuk memberikan konteks yang jelas atau menggunakan kalimat dengan susunan yang jelas.

Menurut saya, kelamahan yang diakuinya ini bisa jadi kelebihan di lain sisi. ChatGPT menuntut kita sebagai penanya, untuk tertib menerapkan sintaksis. Penggunaan kalimat yang baik, kejelasan maksud dari pertanyaan, juga pemilihan diksi akan menentukan akurasi jawaban dari ChatGPT.

Selain itu, kejelasan tentang objek pertanyaan sangat perlu ketika hendak ditanyakan kepada ChatGPT. Saya pernah bertanya tentang salah seorang tokoh atau ahli, yang rupanya memiliki kesamaan nama dengan ilmuwan lainnya.

"Terdapat beberapa orang yang bernama "Burns" di berbagai bidang studi. Tanpa konteks yang lebih spesifik, saya tidak dapat memberikan jawaban yang akurat."

4. ChatGPT tidak dapat memberikan empati

"Meskipun saya dapat memberikan saran dan solusi, saya tidak dapat memberikan empati seperti manusia dalam memberikan dukungan atau mengatasi masalah secara emosional. Namun, saya akan berusaha sebaik mungkin untuk memberikan jawaban yang akurat dan berguna sejauh kemampuan saya sebagai program komputer." (Jawaban dari ChatGPT)

Pengakuan ChatGPT mengenai kelemahannya dalam berempati ini cukup membingungkan. Ia seperti merendah. Karena pada beberapa pertanyaan, ia dapat berlaku seperti seorang konselor yang bijak ketika memberi pilihan sikap untuk penanya.

Misalnya, ketika saya mengetik pertanyaan berdasarkan kutipan dialog teks cerpen, "Apa yang sebaiknya dilakukan oleh tokoh aku untuk membuat tokoh Ayu menyukainya?" Kemudian ChatGPT memberi jawaban,

" Saya tidak dapat memberikan saran untuk membuat seseorang menyukai kita, karena ini melibatkan perasaan dan preferensi personal yang tidak dapat kita kendalikan. Selain itu, sulit untuk menentukan apakah tokoh Ayu tertarik pada tokoh aku berdasarkan kutipan tersebut. Namun, jika tokoh aku ingin memperbaiki hubungan dengan tokoh Ayu atau membuat Ayu merasa lebih nyaman berinteraksi dengannya, ia dapat mencoba untuk menjadi lebih ramah dan empatik. Misalnya, ia dapat mencoba untuk memulai percakapan dengan topik yang Ayu minati atau menunjukkan ketertarikan terhadap hobi atau kegiatan Ayu. Namun, penting juga untuk diingat bahwa tidak semua orang akan menyukai kita, dan itu merupakan hal yang wajar dan dapat diterima."

Berdasarkan empat pengakuan kelemahan Chat GPT tersebut, saya jadi menyimpulkan bahwa Kecerdasan Buatan yang diwakili oleh cara berkomunikasi ChatGPT tersebut sungguh ajaib . Sebab, secara tidak langsung Chat GPT justru menunjukan potensi kelebihannya sebagai "alat berbahasa" digital yang mencerminkan kecenderungan cara manusia berkomunikasi.

Kemampuannya mengimitasi cara manusia berkomunikasi, berpikir, dan berpendapat yang ia dapat dari pergaulan manusia secara literasi di dunia digital, akan makin sempurna karena ia terus berkembang mengikuti perilaku literasi digital kita. Sebab, ia dirancang untuk memberikan respons berdasarkan algoritma dan pemrograman yang telah ditanamkan dalam sistemnya. 

Lantas, yang kemudian dapat menjadi problem adalah, apakah informasi dan saran yang ia berikan itu berdasarkan data informasi dan pengetahuan yang akurat? 

Menurut saya, di sinilah wilayah kita sebagai penggunanya. ChatGPT mengolah data dan kita harus melakukan validasi data-data itu dengan mengujinya berulang kali.

Marendra Agung J.W, Maret 2023

Sumber: Saya melakukan uji coba tanya jawab lansung dengan ChatGPT tentang kelemahannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun