Kita mulai menghabiskan waktu dengan gawai. Kita mulai membuat akun Tik Tok dan akun Youtube, lantas rutin membuat konten untuk membagikannya kepada para siswa. Lantas, benak kita berisi harapan agar viewer kita menggunung, tanpa peduli apakah siswa benar-benar membutuhkan itu atau tidak. Waktu kita habis menggauli perangkat belajar, tanpa sempat eksplorasi ilmu dan isi pembelajaran yang sudah lama lusuh.
Kasus lain misalnya, kita terpaku dengan aplikasi atau teknologi pendidikan yang membantu kita membuat kuis menarik bernuansa game virtual. Malam hari kita menyusun strategi dan konten pembelajaran. Begitu menarik dan sedemikian rupa. Keesokan harinya tiba-tiba listrik mati. Tak ada daya untuk menghidupkan laptop.
Lantas apakah kita berhenti mengajar? Hanya karena perangkat ajar, serta persiapan dan perencanaan pembelajaran,tidak dapat kita gunakan, karena situasi tidak mendukung Tentu jawabannya tidak.
Sikap dalam merespon masalah secara spontan, efektif dan tepat sasaran pasti akan kita lakukan. Kita tetap mengajar dengan cara otentik kita yang mandarah daging tanpa harus "dibuat-buat" atau direncanakan secara administratif
Saya cukup yakin kalau sebagian besar guru pernah mengalami hal ironi semacam itu dengan bentuk yang beragam. Dan jangan-jangan, ketika kita dapat mengatasi situasi semacam inilah, yang kemudian disebut sebagai daya kreativitas. Jika itu bukan kreatif, lantas apakah guru kreatif harus terikat dengan teknologi pembelajaran terkini?
Teknologi sebagai Alat Bukan sebagai Pusat
Para guru secara umum boleh jadi berposisi sebagai murid di hadapan gawai dan juga di tengah gelagat media sosial.Â
Kita tentu sudah tak canggung lagi melihat rekan kita yang lebih senior, kini mulai berpose dan posting foto atau materi pembelajaran di Tik Tok, Instagram atau media sosial lainnya. Kita pun telah melihat mereka sempat tertatih-tatih berkenalan dengan Zoom, Kahoot, Quizizz dan lain sebagainya. Kemudian kita sebagai guru yang masih muda turut serta mebantu mereka.
Kita boleh saja merasa paling mengerti dengan "bahasa" zaman ini, tapi saya kira kita harus tetap hati-hati untuk menyebut kita sebagai yang kreatif. Sebab, jangan-jangan kita baru sekedar adaptif sebagai pengguna mahir aplikasi-aplikasi mutakhir.Â
Saya khawatir, apa yang sudah kita lakukan di kelas, dengan segala percobaan-percobaan piranti baru justru mempesempit diri kita sebagai guru.