Boleh jadi, timses atau tim kreatif dari pembuat baliho telah mempertimbangkannya dengan matang.Â
Pembuat slogan baliho sepertinya memilih untuk sekadar memberi pernyataan atau pengabaran, sebagaimana fungsi plang toko atau warung makan di tepian jalan raya. Artinya tidak ada kemungkinan makna psikologis yang ditawarkan kepada pembacanya.
Sebagi contoh pada baliho dengan tagline atau slogan yang berbunyi, "Kerja untuk Indonesia". Ungkapan tersebut tidak memberi dinamika "mood" kepada pendengar ataupun pembaca.
Fungsi komunikasinya menjadi "tawar", karena sekadar mengabarkan atau menyatakan. Berbeda jika diberi modalitas intensional.Â
Misalnya seperti adverbia akan dan hendak sehingga menjadi, "Akan kerja untuk Indonesia" atau dapat pula menjadi "Hendak Kerja untuk Indonesia".
Hadirnya adverbia tersebut memberi makna "kemungkinan" terhadap keadaan di masa yang akan datang.
Tanpa menggunakan adverbia akan dan hendak, ungkapan tersebut memaksa pembaca untuk membayangkan bahwa yang bersangkutan sedang bekerja untuk Indonesia. Walau slogan pada baliho itu difungsikan untuk periode kerja di masa yang akan datang.
Pada slogan yang berbunyi "Demokrat Nasionalis Religius Berkoalisi dengan Rakyat", juga tidak mengandung modalitas. Padahal, jika diberikan modalitas epistemik misalnya, maka tuturan menjadi terang dan percaya diri.
Sebagai contoh, "Demokrat Nasionalis Religius Pasti Berkoalisi dengan Rakyat". Adverbia pasti memberi ruang makna psikologis "keyakinan".Â