Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Bersilat Melawan Kecamasan, Membaca "Memo tentang Politik Tubuh"

15 Juli 2021   11:28 Diperbarui: 15 Juli 2021   20:22 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto buku Memo Tentang Politik Tubuh. (Dokumen pribadi)

Kita telah menyaksikan berita tentang kematian, informasi korban dan angka kasus positif covid-19 yang memenuhi  layar gawai kita. Bunyi ambulance pun belakangan ini terdengar lebih sering dan rutin. Kita tak menyangka, wabah Covid -19 masih menjerat kehidupan kita hingga 2021 ini.

Semua pengalaman di atas layaknya puzzle, menjadi momok yang membuat kita cemas. Perasaan atau emosi negatif yang disebut "cemas" itu begitu lembut dan misteri. Sejumlah pandangan kedokteran bahkan menyebut rasa cemas tersebut dapat mengundang penyakit.

Kita yang bukan dokter, tentu tidak  mampu melawan virus covid -19 dengan masuk ke laboratorium dan menciptakan obat atau vaksin. Akan tetapi,  kita dapat melawan musuh yang lebih terjangkau oleh kita yaitu kecemasan. Oleh karena itu, momen PPKM Darurat ini adalah babak baru bagi kita untuk kembali memahami cara tepat mengatasi kecemasan.

Membaca sebagai jurus mengatasi kecemasan

Saya menemukan abstraksi mengenai jurus untuk mengatasi kecemasan. Saya coba membuka kembali buku yang ditulis oleh Bre Redana berjudul Memo Tentang Politik Tubuh, rilisan Penerbit Buku Kompas tahun 2016. Buku yang merupakan catatan Bre Redana tatkala berguru ilmu silat itu membuat saya memaknai bahwa "membaca" adalah cara bersilat mengatasi kecemasan.

Bre Redana sendiri telah "membaca" pengalaman bersilat puluhan tahun di Persatuan Gerak Badan Bangau Putih itu. Pengalamannya selama berguru dengan Gunawan Rahardja itu menelurkan uraian panjang mengenai banyak hal yang esensial dan filosofis. Dari situ saya mendapatkan makna bahwa seperti pertarungan bela diri, musuh kita yang paling mendasar adalah perasaan negatif yang kita bangun sendiri.

Poin yang juga penting dari uraian dalam Memo Tentang Politik Tubuh adalah bahwa bersilat bukanlah sekedar aktivitas motorik, yang identik dengan seni bela diri secara fisik.  Namun silat juga seni dalam menjawab permasalahan hidup melalui "keutuhan" diri. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Bre Redana di awal bab buku ini bahwa,

" ...silat bukan urusan tangkis pukul, melainkan bagaimana silat berusaha menjawab kebutuhan dan tantangan hidup dari zaman ke zaman." (halaman 11.)

Ada cerita tentang gerakan bernama Bangau 9 Bayangan di buku ini. Esensi dari gerakan tersebut yaitu kita harus mengatasi keserakahan, kemunafikan, takut, cemas, iri, dengki, egois, angkara murka, dan sedih. Sebagaimana kita maklumi bahwa sembilan hal tersebut  adalah "musuh" internal manusia yang bukan hanya dapat terjadi di era pandemi ini.

Untuk melewati 9 musuh yang dapat menjadi sumber permasalahan hidup itu kita perlu latihan. Termasuk mengatasi kecemasan, kita juga perlu formula latihan sebagaimana bersilat. Bre Redana menceritakan tentang gerakan Tui Cu atau posisi menjatuhkan lawan.  

" Dalam Tui cu, kami dilatih untuk tidak membaca lawan melainkan membaca diri sendiri, mengolah diri sendiri." ( Halaman 27.)

Cara menjatuhkan lawan dalam Tui Cu adalah dengan membaca diri sendiri. Lawan kita pada momen perkelahian/pertarungan hanyalah alat yang membantu kita  untuk memahami diri sendiri. Maka untuk mengatasi kecemasan sebagai lawan kita belakangan ini, kita perlu mengenali komponen diri kita.

Menghayati keutuhan diri: mind, body, spirit

Komponen diri yang dimaksud meliputi pikiran (mind), tubuh (body) dan daya (spirit). Dengan membaca, mengenali dan menyadari tiga komponen diri tersebut maka akan terjadi keseimbangan diri. Sebab, perasaan negatif seperti kecamasan itu muncul ketika terjadi ketidakseimbangan pada diri kita.

" Lewat olah tubuh kami mengolah kesadaran mengenai pikiran, tubuh, spirit. Spirit kami pahami sebagai daya."  ( Halaman 15)

Pada uraiannya, Bre Redana menarasikan bahwa menghayati gerak tubuh itu bermaksud untuk mengolah kesadaran, mengenali sesuatu secara kongkret. Yang dilakukan adalah menyeimbangkan otak dan menyelaraskannya dengan tubuh. Ketika pikiran mendominasi maka tubuh dan daya atau energi (spirit) akan mengikutinya.

Kecemasan yang kita rasakan saat pandemi ini terjadi karena pikiran kita penuh dengan asumsi-asumsi,misalnya tentang gejala tentang covid-19, resah terhadap hasil test "positif", ketakutan akan tertular,  maka tubuh dan energi kita secara otomatis akan berlaku demikian.  

Kita yang tegang menjalani hari-hari dalam intaian covid-19 dapat saja merasa "sakit" dalam keadaan tubuh yang sebetulnya baik-baik saja. Ada kalanya kita harus menyadari bahwa pikiran harus mengikuti otoritas tubuh. Tubuh kita dapat mengatur pikiran yang penuh kecemasan. Apabila tubuh mengikuti pikiran yang kalut maka yang terjadi adalah kekakuan, tegang, seperti robot berjalan karena "disistemkan".

Sebagaimana bersilat, ketika tangan dengan sendirinya melakukan tangkisan tanpa pernah terpikirkan. Semua terjadi secara alami mengikuti kodrat tubuh tanpa memikirkannya. Dalam buku ini disebut Bre Redana dengan "Politik Tubuh".

Bagaimana kita menyeimbangkan tubuh, pikiran, dan daya melalui gerak tubuh adalah poin penting dalam buku ini. Oleh karena itu, frasa " Body, Mind, Spirit" menjadi semacam tagline sampul buku ini. Walau pun tipografi "Body Mind Spirit" dibuat begitu kecil, tapi saya kira itu adalah strategi komunikasi "visual". Bahwa yang terpenting bukan selalu yang tampak besar secara kasat mata. 

Cukup memerhatikan hal-hal kecil dalam keseharian kita.  Seperti yang Bre Redana catat bahwa rutinitas dalam latihan silat di PGB Bangau Putih itu justru melalui hal-hal sederhana yang dapat saja sudah lama tidak dilakukan oleh seseorang. Rutinitas tersebut seperti menyapu lantai, mencuci piring, bangun pagi dan mandi pagi secara rutin.

Kita mungkin terlalu lama terjebak dalam WA (WhatsApp), membaca kabar buruk, menyimak pendapat-pendapat tentang kesehatan, membaca statistik atau informasi covid-19, namun kita lupa membaca tubuh, pikiran, dan spirit diri kita sendiri. Dengan menyimak hal-hal besar tentang covid-19 di luar sana,  membuat otak  berat dan mendominasi komponen diri kita. 

Jurus memukul angin, mengosongkan asumsi dan meniadakan prasangka

Kita harus dapat mengurangi insight yang berupa informasi buruk  di otak. Sebagaimana yang diceritakan oleh Bre Redana tentang PA Hong, salah satu latihan dengan melakukan pukulan terhadap angin. Gerakan latihan tersebut bertujuan untuk menyeimbangkan tubuh, pikiran, dan spirit.

"Di sini kami kemudian belajar mengenai ambisi, niat, dan keinginan. Kami belajar melepaskan ambisi. Yang kami lakukan sekedar memukul angin." (halaman 34)

Kesadaran mengenai "kosong" seperti latihan PA Hong tadi sepertinya penting untuk kita sadari. Secara kognitif, kita harus menghilangkan asumsi atau persepsi. Secara afektif atau perasaan, kita harus mengosongkan prasangka buruk atau kebiasan menduga-duga secara tak wajar.

Kita biarkan tubuh kita berlaku wajar, dalam keheningan pikiran. Berjemurlah di bawah sinar matahari untuk menikmati sensasi hangat tubuh,  tanpa harus berpikir bagaimana supaya sehat, bagaimana supaya imun kuat, bagaimana menghindari covid-19. Kita akan sehat secara alami dengan memperhatikan dan memahami tubuh secara apa adanya. Tanpa tendensi apa-apa.

"Emosi kita akan terganggu katakanlah ketika kita terkena pukulan. Muncul niat untuk membalas. Makin keras pertarungan, kian terbakar diri. Niat yang tidak terkendali menjadi ego, ingin menang, ingin kelihatan hebat."(halaman 63.)

Sebagaimana  pertarungan silat, ketika pesilat kena pukul maka terjajahlah emosi, timbul ambisi untuk membalas. Keselarasan diri menjadi terganggu. Kaki kehilangan keluwesan untuk melakukan tendangan. Pinggang menjadi tegang. Jika pesilat tenang dan menikmati gerak tubuh, maka pukulan dan tendangannya akan tepat menuju sasaran.

Spiritualitas, berpuasa sebagai jurus menguatkan tubuh

Perihal penjelasan mengenai emosi dan ambisi dalam uraian buku ini saya kira cukup rumit. Sebab ini terkait dengan komponen diri yang berupa spirit. Ambisi tetap diperlukan walau di lain sisi, kalau berlebih berbahaya bagi keseimbangan diri.

Saya kira Bre Redana menghindar dari konsep mengenai "spiritual" dalam arti terlalu dalam, kecuali mengaitkannya dengan energi, semangat, dan meditasi. Pada bab-bab pertengahan hingga akhir, penjelasan tentang konsep dan fenomena spirit terjadi pengulangan di sana-sini. Walau demikian, mungkin ini semacam taktik penyampaian, bahwa untuk melatih energi, semangat atau spirit itu diperlukan repitisi atau pengulangan-pengulangan.

Pada tangkisan gerakan silat, menurut narasi Bre Redana dapat terjadi bukan karena ambisi yang tinggi, melainkan karena tangan  memiliki memori. Latihan secara konsisten sehari-hari membuat gerakan mengakar pada memori tubuh. Sehingga spontanitas akan terjadi ketika tubuh mengalami ancaman atau serangan. Pada konteks kecemasan kita belakangan ini terjadi karena kita kurang percaya atau tidak yakin terhadap tubuh. Kita tidak cukup sering melatih kesadaran terhadap energi ( spirit) dari tubuh kita melainkan membiarkan otak atau pikiran menguasainya.

Pembiasaan tertentu seperti "ibadah" tanpa pamrih, ikhlas, dan wajar memandang diri sepertinya konsep mengolah spirit, yang secara tak langsung ingin disampaikan oleh Bre Redana. Bagaimana kita melakukan "ibadah" tanpa intervensi otak yang sarat manipulatif adalah cara menyeimbangkan diri secara alami.

Kita dapat memahami bahwa mengolah "spirit" dengan ibadah atau ritual tertentu bukan berarti mengingkari tubuh. Contoh kasus misalnya "berpuasa", sebagai  bentuk spiritualitas yang melibatkan tubuh sebagai fokus. Tubuh kuat karena terlatih mengalami kekosongan. Penjelasan Goenawan Mohamad pada halaman pengantar buku ini cukup membantu untuk memahami konsep "spirit", sekaligus menutup tulisan ini.  

" Akal Budi adalah bagian dari jiwa raga. Kita bisa melihat bahwa berpuasa atau berpuasa, bukanlah pengingkaran kepada tubuh, meskipun terkadang disebut patiraga, melainkan justru sebaliknya, tubuh merupakan fokus dalam ritual itu,"(halaman xi.)


Bekasi 2021. Marendra Agung J.W

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun