Kita biarkan tubuh kita berlaku wajar, dalam keheningan pikiran. Berjemurlah di bawah sinar matahari untuk menikmati sensasi hangat tubuh, Â tanpa harus berpikir bagaimana supaya sehat, bagaimana supaya imun kuat, bagaimana menghindari covid-19. Kita akan sehat secara alami dengan memperhatikan dan memahami tubuh secara apa adanya. Tanpa tendensi apa-apa.
"Emosi kita akan terganggu katakanlah ketika kita terkena pukulan. Muncul niat untuk membalas. Makin keras pertarungan, kian terbakar diri. Niat yang tidak terkendali menjadi ego, ingin menang, ingin kelihatan hebat."(halaman 63.)
Sebagaimana  pertarungan silat, ketika pesilat kena pukul maka terjajahlah emosi, timbul ambisi untuk membalas. Keselarasan diri menjadi terganggu. Kaki kehilangan keluwesan untuk melakukan tendangan. Pinggang menjadi tegang. Jika pesilat tenang dan menikmati gerak tubuh, maka pukulan dan tendangannya akan tepat menuju sasaran.
Spiritualitas, berpuasa sebagai jurus menguatkan tubuh
Perihal penjelasan mengenai emosi dan ambisi dalam uraian buku ini saya kira cukup rumit. Sebab ini terkait dengan komponen diri yang berupa spirit. Ambisi tetap diperlukan walau di lain sisi, kalau berlebih berbahaya bagi keseimbangan diri.
Saya kira Bre Redana menghindar dari konsep mengenai "spiritual" dalam arti terlalu dalam, kecuali mengaitkannya dengan energi, semangat, dan meditasi. Pada bab-bab pertengahan hingga akhir, penjelasan tentang konsep dan fenomena spirit terjadi pengulangan di sana-sini. Walau demikian, mungkin ini semacam taktik penyampaian, bahwa untuk melatih energi, semangat atau spirit itu diperlukan repitisi atau pengulangan-pengulangan.
Pada tangkisan gerakan silat, menurut narasi Bre Redana dapat terjadi bukan karena ambisi yang tinggi, melainkan karena tangan  memiliki memori. Latihan secara konsisten sehari-hari membuat gerakan mengakar pada memori tubuh. Sehingga spontanitas akan terjadi ketika tubuh mengalami ancaman atau serangan. Pada konteks kecemasan kita belakangan ini terjadi karena kita kurang percaya atau tidak yakin terhadap tubuh. Kita tidak cukup sering melatih kesadaran terhadap energi ( spirit) dari tubuh kita melainkan membiarkan otak atau pikiran menguasainya.
Pembiasaan tertentu seperti "ibadah" tanpa pamrih, ikhlas, dan wajar memandang diri sepertinya konsep mengolah spirit, yang secara tak langsung ingin disampaikan oleh Bre Redana. Bagaimana kita melakukan "ibadah" tanpa intervensi otak yang sarat manipulatif adalah cara menyeimbangkan diri secara alami.
Kita dapat memahami bahwa mengolah "spirit" dengan ibadah atau ritual tertentu bukan berarti mengingkari tubuh. Contoh kasus misalnya "berpuasa", sebagai  bentuk spiritualitas yang melibatkan tubuh sebagai fokus. Tubuh kuat karena terlatih mengalami kekosongan. Penjelasan Goenawan Mohamad pada halaman pengantar buku ini cukup membantu untuk memahami konsep "spirit", sekaligus menutup tulisan ini. Â
" Akal Budi adalah bagian dari jiwa raga. Kita bisa melihat bahwa berpuasa atau berpuasa, bukanlah pengingkaran kepada tubuh, meskipun terkadang disebut patiraga, melainkan justru sebaliknya, tubuh merupakan fokus dalam ritual itu,"(halaman xi.)
Bekasi 2021. Marendra Agung J.W
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H