Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nyanyian di Telinga

30 Mei 2021   16:41 Diperbarui: 30 Mei 2021   16:45 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  

  " Harta, tahta, Sinta !" 

     Aku tak sempat menghitung berapa kilo aku berjalan. Dan bunyi nyayian itu belum juga padam. Hasta demi hasta langkah kakiku bagai garputala. Geraknya seirama dengan nyanyian ini.

     Jalanan aspal, rumput, sampai tanah kering, semua telah kulalui dengan tawar. Tidak lelah, tidak pula benar-benar menyegarkan. Biasa saja. Tapi setidaknya gemetar telapak kakiku ini sepertinya sedang memberi reaksi nikmat karena menapaki bumi. Ya, melangkah di atas bumi dalam arti yang sejati. Tanpa alas kaki, dalam bentuk apapun.  

     Sore ini aku sangat senang karena hujan akan datang. Aku amati ia menetes malu-malu, aromanya sangat menusuk kalbu. Sapuan angin, dan kelam awan itu, menggiringku pada bongkahan pohon tumbang. Aku singgah di atasnya. Sungguh pohon yang naas.  Dan benar saja, tak lama kemudian hujan tumpah dengan derasnya.   

     Drama hidup begitu lucu. Orang-orang  seperti dikejar anjing. Aku lihat mereka menghindari hujan, menepi, berteduh, ada pula yang mengenakan jaket hujan, ada yang tergopoh-gopoh menjauhi jalanan.

   Mata orang-orang itu selalu saja menyempatkan waktu untuk milirik kepadaku. "Heiiiii! Apa yang kaulihat?" Teriakku. Dan seperti biasa, sepertinya  mereka tak mendengar suaraku. Aku sudah tak begitu heran.Sejak nyanyian di telingaku muncul tiga bulan bekalangan, aku merasa tidak ada lagi orang yang mampu mendengarkan perkataanku.

   Pohon tumbang basah kuyup sebagaimana aku. Melalui kulit badan ini aku merenungi hujan. Ia begitu memberi kebaikan. Segar sekali. Bukankah, semua yakin bahwa hujan itu dari Yang Maha Suci. Tapi mengapa mereka semua malah menghindarinya? Dasar penipu! Omong kosong! Oh sungguh jadi panas hati ini mengingat itu. Sebab, tak ada fenomena paling dinanti oleh Sinta, kecuali hujan. Entah apakah Sinta tetap mencintaiku? Atau itu hanya dulu?

" Harta, Tahta, Sinta !"

   Untung saja nyanyian ini selalu berhasil jadi penghibur. Kalau tidak ada nyanyian di telinga ini, mungkin sudah banyak manusia yang babak belur akibat kupukuli habis-habisan.  Tentang nyanyian di telingaku ini, semakin hari semakin keras saja. Bunyinya begitu riuh, seperti longlongan ribuan manusia namun sama percis suaranya.

    Nadanya begitu aneh, tegas, tapi tak terkira frekuensinya. Lirik yang monoton, tiga kata tapi begitu inti.  Setiap hari nyanyian di telingaku ini  bertalu-talu, melantunkan lirik yang berulang-ulang tanpa pernah berhenti.

   Pada mulanya, lantunan itu terasa membuat nyeri telinga, namun lambat laun malah membuat hatiku tenang. Tawaku selalu meledak-ledak tatkala bangun tidur, lantas menyambut nyanyian yang aku tak tahu siapa penyanyi dan penciptanya ini. Yang jelas aku merasa lebih enteng untuk menertawai dunia dan semua hal menyebalkan di luar sana.

   Yaampun, dua kepala manusia yang keluar dari dalam mobil itu sungguh lucu. Entahlah apa yang mereka katakan. Sejak hadirnya nyanyian stereo di telingaku ini, aku jadi tidak begitu mendengar bunyi apapun di luar sana. Ketika orang -- orang lucu dalam mobil itu mengatup-atupkan bibir mereka, aku hanya mencium aroma busuk, seperti bau sampah yang lama mengendap.

     Pandangan orang-orang selalu menabraku. Dan hujan mulai menipis. Gerimis. Aku lanjut berjalan. Tujuanku masih jauh. lubang, ya aku ingin ke sebuah lubang besar dan dalam. Semoga aku lekas menemukannya. 

" he, awas nak, sini - sini "

" orang itu kenapa?  "

     Bajingan! Aku lupa kalau semua orang sudah tuli. Sejak tadi aku teriak-teriak. Mereka tetap tak mendengar. Aku berjalan dengan cepat, langkahku tegas. Tetap saja mereka tidak menyingkir.

   Orang tua macam apa itu. Mengajari anaknya menggunakan payung. Aku jadi ingat ayahku.  Ia selalu menegaskan, semua orang tua pasti menyayangi anaknya. Ia mengaku kerap mendoakanku dari jauh. Tapi, setan apa yang memasuki dirimu, Yah? Oh ayah. Kau memang tak pernah menampar pipiku tapi mengapa bisa-bisanya kau injak-injak diri anakmu.

   Kalau aku pulang, kau selalu menanyakan tentang uang? Kau bilang, sudah cukupkah gajimu untuk membuatmu senang?! Aku pulang membawa Sinta. Kau bilang, kami berseberangan. Kau membencinya?. Sebegitu sulitkah kau memberi restu. Demi anakmu!

***

    " Sinta , Sinta , sinta ! "

    Kepalaku sakit. Seperti ada ledakan besar. Kurasa ada goncangan hebat dari bawah bumi. Lirik nyanyian itu berubah. Nadanya lebih menghentak. Aku paksa berhenti kakiku.

   Tiba-tiba perasaan memanduku untuk  duduk di sebelah  warung makan. Perasaanku berkata bahwa yang aku cari akan kudapatkan di sana. Apa ita di sana ada lubang besar dan dalam?

   Kuturuti perasaanku. Dan aku jadi lupa kapan terakhir kali aku makan.  Yang jelas, di tong sampah banyak makhluk yang kesepian. Percis sepertiku. Aku jadi tak tega melihat mereka hidup tak bermaka,  maka kutelan mereka. 

    Sedangkan di dalam warung makan ini orang-orang tampak tenang-tenang. Kok, hanya aku yang merasakan gempa? Jangan-jangan orang-orang memang sudah kebal dengan reaksi alam?

   Ah yaampun. Bagaimana ini, kepalaku makin pusing. Aku ingin muntah.  Ya ampun. Sinta yang manis timbul di mana-mana. Kepulan asap dari wajan ruko itu melukisan wajah sinta.  Senyum manis itu melayang-layang sampai ke temaramnya langit.

***

" Pakde. Coba itu kasih nasi gorengmu. Kasiha orang itu."

" Dia itu siapa sebenarnya Pakde? Kok akhir-akhir ini keliaran mulu di sekitar pasar?"

"Apa enggak ada yang kenal dia, Pakde?"

   Begitu gerah malam ini. Padahal hujan baru saja reda. Padahal kipas angin itu baru. Padahal daganganku laris. Padahal aku tak punya hutang. Hmm, ini pasti karena di kepalaku masih terjajah oleh wajah si bodoh itu! Kenapa bisa-bisanya dia sampai sini, duh!

" Waduh. Bapak-bapak, ibu-ibu, maaf.  Saya kurang tahu. Saya juga baru tahu ini", Jawabku sekenanya kepada para pelanggan. Aduh, apa tidak ada tempat lain untuk sekedar menjadi gelandangan? Kenapa di pasar ini! Aku tak habis pikir dengan anak ini. Sudah bikin malu di kampung, sekarang mau bikin malu di kota juga?

  Lihatlah, sekarang aku yang sudah sangat tua, seorang diri. Dapat hidup hanya dengan nasi goreng. Dan kau?Sarjana ekonomi? Halah! lembar ijazah itu tak membawa pengaruh apa-apa bagi keluarga. Bahkan kambing tetangga-tetangga itu lebih berguna !

" Malam Pakde! " Lamunanku buyar. Tumben sekali jam segini orang ingin bertamu. Tak biasanya. Nasiku sudah habis, lagi pula pasar sudah tutup.

" Pakde tidak dengar apa?

"Maaf, ada apa ya?"

" Itu gerobak nasi pakde, dihancurkan. Tadi lelaki yang telanjang di parkiran pasar, tiba-tiba lari melempari batu-batu, memukuli gerobak dan warung Pakde."

" Asu! Ke mana orang itu!"

" Lari. Tak ada yang berani mencegahnya ."

    

2017.

Marendra Agung JW

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun