Tiba-tiba perasaan memanduku untuk  duduk di sebelah  warung makan. Perasaanku berkata bahwa yang aku cari akan kudapatkan di sana. Apa ita di sana ada lubang besar dan dalam?
  Kuturuti perasaanku. Dan aku jadi lupa kapan terakhir kali aku makan.  Yang jelas, di tong sampah banyak makhluk yang kesepian. Percis sepertiku. Aku jadi tak tega melihat mereka hidup tak bermaka,  maka kutelan mereka.Â
  Sedangkan di dalam warung makan ini orang-orang tampak tenang-tenang. Kok, hanya aku yang merasakan gempa? Jangan-jangan orang-orang memang sudah kebal dengan reaksi alam?
  Ah yaampun. Bagaimana ini, kepalaku makin pusing. Aku ingin muntah.  Ya ampun. Sinta yang manis timbul di mana-mana. Kepulan asap dari wajan ruko itu melukisan wajah sinta.  Senyum manis itu melayang-layang sampai ke temaramnya langit.
***
" Pakde. Coba itu kasih nasi gorengmu. Kasiha orang itu."
" Dia itu siapa sebenarnya Pakde? Kok akhir-akhir ini keliaran mulu di sekitar pasar?"
"Apa enggak ada yang kenal dia, Pakde?"
  Begitu gerah malam ini. Padahal hujan baru saja reda. Padahal kipas angin itu baru. Padahal daganganku laris. Padahal aku tak punya hutang. Hmm, ini pasti karena di kepalaku masih terjajah oleh wajah si bodoh itu! Kenapa bisa-bisanya dia sampai sini, duh!
" Waduh. Bapak-bapak, ibu-ibu, maaf. Â Saya kurang tahu. Saya juga baru tahu ini", Jawabku sekenanya kepada para pelanggan. Aduh, apa tidak ada tempat lain untuk sekedar menjadi gelandangan? Kenapa di pasar ini! Aku tak habis pikir dengan anak ini. Sudah bikin malu di kampung, sekarang mau bikin malu di kota juga?
 Lihatlah, sekarang aku yang sudah sangat tua, seorang diri. Dapat hidup hanya dengan nasi goreng. Dan kau?Sarjana ekonomi? Halah! lembar ijazah itu tak membawa pengaruh apa-apa bagi keluarga. Bahkan kambing tetangga-tetangga itu lebih berguna !