Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nyanyian di Telinga

30 Mei 2021   16:41 Diperbarui: 30 Mei 2021   16:45 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

   Pada mulanya, lantunan itu terasa membuat nyeri telinga, namun lambat laun malah membuat hatiku tenang. Tawaku selalu meledak-ledak tatkala bangun tidur, lantas menyambut nyanyian yang aku tak tahu siapa penyanyi dan penciptanya ini. Yang jelas aku merasa lebih enteng untuk menertawai dunia dan semua hal menyebalkan di luar sana.

   Yaampun, dua kepala manusia yang keluar dari dalam mobil itu sungguh lucu. Entahlah apa yang mereka katakan. Sejak hadirnya nyanyian stereo di telingaku ini, aku jadi tidak begitu mendengar bunyi apapun di luar sana. Ketika orang -- orang lucu dalam mobil itu mengatup-atupkan bibir mereka, aku hanya mencium aroma busuk, seperti bau sampah yang lama mengendap.

     Pandangan orang-orang selalu menabraku. Dan hujan mulai menipis. Gerimis. Aku lanjut berjalan. Tujuanku masih jauh. lubang, ya aku ingin ke sebuah lubang besar dan dalam. Semoga aku lekas menemukannya. 

" he, awas nak, sini - sini "

" orang itu kenapa?  "

     Bajingan! Aku lupa kalau semua orang sudah tuli. Sejak tadi aku teriak-teriak. Mereka tetap tak mendengar. Aku berjalan dengan cepat, langkahku tegas. Tetap saja mereka tidak menyingkir.

   Orang tua macam apa itu. Mengajari anaknya menggunakan payung. Aku jadi ingat ayahku.  Ia selalu menegaskan, semua orang tua pasti menyayangi anaknya. Ia mengaku kerap mendoakanku dari jauh. Tapi, setan apa yang memasuki dirimu, Yah? Oh ayah. Kau memang tak pernah menampar pipiku tapi mengapa bisa-bisanya kau injak-injak diri anakmu.

   Kalau aku pulang, kau selalu menanyakan tentang uang? Kau bilang, sudah cukupkah gajimu untuk membuatmu senang?! Aku pulang membawa Sinta. Kau bilang, kami berseberangan. Kau membencinya?. Sebegitu sulitkah kau memberi restu. Demi anakmu!

***

    " Sinta , Sinta , sinta ! "

    Kepalaku sakit. Seperti ada ledakan besar. Kurasa ada goncangan hebat dari bawah bumi. Lirik nyanyian itu berubah. Nadanya lebih menghentak. Aku paksa berhenti kakiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun