Pembelajaran Virtual
Sejak 13 Juli 2020 lalu, sekolah memasuki masa aktif tahun ajaran baru 2020/2021. Pada masa pemantauan (transisi) kasus Covid-19 ini, sebagian besar sekolah pun melakukan aktivitas Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) secara virtual. Kegiatan Belajaran Mengajar (KBM) belum dapat sepenuhnya berjalan normal.
Saya sempat termenung, membayangkan apakah pembelajaran yang saya terapkan nanti akan efektif? Terlebih siswa baru sepenuhnya belum saya kenal. Bagi saya perkenalan personal secara hakiki adalah pintu menuju keberhasilan KBM, terlebih dalam model virtual learning atau jarak jauh atau daring.Â
Namun, yang menjadi menarik dari kondisi ini ialah kesempatan untuk melihat keefektifan model pembelajaran virtual bagi pendidikan, khususnya pendidikan formal tingkat dasar-menengah.
Itikad baik pemerintah tatkala mencetuskan program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ataupun Belajar dari Rumah (BDR) demi memutuskan penularan virus covid-19 tentu tak dapat dipungkiri keutamaannya. Terlepas dari itu, apabila virtual learning dianggap sebagai big deal model pendidikan saat ini dan nanti, maka perlu diperbincangkan kemungkinan-kemungkinan ketercapaiannya. Â
Sebagaimana gerakan A.W Tony Bates, dalam Teaching In Digital Age (2015) di Canada ketika mengembangkan model pembelajaran digital di kampus, itu dilakukan melalui banyak tahap seperti kajian ulang mengenai paradigma pendidikan, ilmu pengetahuan, dan keadaan masyarakat.
Tidak dipungkiri, pembelajaran virtual sangat efektif dalam memperluas ruang pembelajaran. Seperti penjelasan Prof. Dr. Paulina Pannen, M.Ls dalam Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, bahwa penerapan pembelajaran virtual sebagaimana "kelas maya" Â bertujuan untuk mengatasi keterpisahan ruang dan waktu antara siswa dan guru.Â
Untuk itu, gaya instruksional, penugasan, ataupun transfer knowledge tentu dapat dilakukan secara virtual dan distance sebagaimana online course, serta tayangan tutorial-tutorial bersifat teknis yang marak di Youtube. Akan tetapi, apakah aspirasi pendidikan bangsa secara filosofi maupun kurikulum dapat terpenuhi melalui model tersebut? Â
Karakter: Poros Utama Pendidikan
Pada kenyataan kurikulum, dimensi ketercapaian siswa khususnya di pendidikan menengah, tidak sebatas pada kognisi (knowledge), tapi juga sikap dan keterampilan. Terlebih, penguatan pendidikan karakter (PPK) merupakan poros pendidikan yang telah dicanangkan kemendikbud sejak 2016 lalu.
Secara resmi, Kemendikbud telah merumuskan lima nilai karakter utama yakni religius, nasionalis, integritas, gotong royong, dan mandiri, yang perlu ditanamkan dalam kepribadian siswa.
Saya tidak menyatakan model pembelajaran virtual gagal dalam menunjang kompetensi sikap dan keterampilan siswa. Namun, perlu dipastikan kembali tentang apa yang siswa dapat -kecuali otaknya bekerja- ketika duduk di depan layar komputer, televisi, maupun gawai.
Artinya, hal yang perlu dihindarkan adalah kecenderungan siswa menjadi "objek" teknologi digital, agar dampak kontraproduktif bagi kepribadian mereka tak terjadi. Â
Pemerintah tentu telah menyadari hal tersebut, seperti yang disosialisasikan dalam buku panduan BDR melalui TVRI 13-19 Juli 2020, bahwa program BDR menekankan kompetensi literasi dan numerasi, juga membangun kelekatan dan ikatan emosional dalam keluarga, khususnya antara orang tua/wali dengan anak, melalui kegiatan-kegiatan menyenangkan serta menumbuhkan karakter positif. Â
Pada konteks ini, fungsi virtual learning termasuk program tayangan TV sebagai alternatif pembelajaran harus lebih dari sekadar penebas jarak, yang mungkin hanya dapat menumbuhkan karakter mandiri (dalam berpikir) siswa.
Pertemuan: Menjalin Spirit Guru dan Murid
Keterlibatan guru dan siswa dalam suatu momen bersama menjadi penting untuk membangun karakter siswa secara utuh. Sebagaimana ajaran yang telah diwariskan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa guru memberi tauladan di hadapan siswa (Ing Ngarso Sung Tulodo), memberi spirit di tengah-tengah siswa (Ing Madya Mangun Karso), dan menunjang "perjalanan" siswa dari belakang (Tut Wuri Handayani). Â
Begitu multidimensinya posisi guru, menyebabkan mereka dan siswa harus terjalin dalam kondisi yang "intim".
Pandangan tersebut sejalan dengan paradigma pendidikan pesantren. Hipzon Putra Azma, M.Hum (pengamat kebudayaan Islam) menjelaskan dalam sebuah Gelar Wicara (Sinarlima TV, 19/7/2020), bahwa sebagaimana "halaqah" dalam tradisi di pondok pesantren, pertemuan siswa-guru atau kiai-santri mutlak harus terjadi. Bahkan, momen hidup bersama dalam suatu komunitas merupakan model penanaman karakter yang paling mendasar.
Wacana Pendidikan dan  Realitas Masyarakat
Pada konteks pendidikan karakter ini, peran keluarga terlebih dalam program BDR otomatis menjadi keutamaan. Maka, keadaan yang membuat siswa berjarak dengan sekolah atau guru, harus ditanggapi dengan sikap menerima, bahwa kurikulum akan terkikis otoritasnya dan tunduk pada keorganikan lingkungan keluarga.Â
Sebab, latar belakang siswa yang beragam pun menjadi tantangan bagi perumusan konsep pembelajaran yang tepat sasaran. Kenyataan bahwa terdapat siswa berasal dari keluarga underprivileged, atau bahkan sebagian besar siswa berasal dari panti asuhan (asrama), maka penerapan pembelajaran akan lebih "unik "dari yang telah diagendakan secara umum.
Konsep-konsep pembelajaran virtual harus dikaji berdasarkan kenyataan tersebut. Sebab boleh jadi siswa dalam konteks kelas menengah ke bawah, akan lebih memilih membantu keluarga berdagang di pasar, membantu ibunya mencuci pakaian, memijat punggung ayahnya yang letih pasca "narik ojek", atau membersihkan lingkungan panti/pondok, ketimbang harus berlama-lama memegang gawai, mengerjakan tugas rangkuman makalah "virus covid-19", atau sekedar menyimak  tayangan "cara hitung cepat" di TV.
Saya jadi berpikir tentang dampak aktivitas pembelajaran tatkala PJJ sejak maret lalu. Â Apakah siswa nantinya akan menjadi pribadi yang penuh otaknya, namun individualis dan kering karakternya?
Bagaimana mungkin kedewasaan beragama dan bernegara siswa dapat terbangun dengan hanya melihat tayangan visual, menerima runtutan tugas di WA, menyimak "omongan" di zoom, tanpa atmosfer komunal seperti yang terjadi di sekolah?Â
Bagaimana mungkin membangun kebiasaan gotong royong siswa melalui seberkas fail dalam google classroom? Bagaimana caranya guru memupuk integritas siswa , tanpa mendorong dan menemani siswa secara langsung dari hari ke hari? Â
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menumbuhkan potensi kesimpulan bahwa keefektifan pembelajaran virtual  bagi pembangunan karakter siswa masih "tumpul". Tentu perlu riset lebih jauh untuk melihat potensi kesimpulan ini objektif atau tidak.
Tulisan ini hanya sebatas "godaan", untuk kita melihat kembali apakah pembelajaran virtual telah berdialog dengan wacana-wacana pendidikan serta kenyataan keluarga yang telah berlangsung di masyarakat. Sehingga, orientasi pendidikan karakter bangsa tidak benar-benar terkikis.
Marendra Agung  J.W. Bekasi 20/7/2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H