Artinya, hal yang perlu dihindarkan adalah kecenderungan siswa menjadi "objek" teknologi digital, agar dampak kontraproduktif bagi kepribadian mereka tak terjadi. Â
Pemerintah tentu telah menyadari hal tersebut, seperti yang disosialisasikan dalam buku panduan BDR melalui TVRI 13-19 Juli 2020, bahwa program BDR menekankan kompetensi literasi dan numerasi, juga membangun kelekatan dan ikatan emosional dalam keluarga, khususnya antara orang tua/wali dengan anak, melalui kegiatan-kegiatan menyenangkan serta menumbuhkan karakter positif. Â
Pada konteks ini, fungsi virtual learning termasuk program tayangan TV sebagai alternatif pembelajaran harus lebih dari sekadar penebas jarak, yang mungkin hanya dapat menumbuhkan karakter mandiri (dalam berpikir) siswa.
Pertemuan: Menjalin Spirit Guru dan Murid
Keterlibatan guru dan siswa dalam suatu momen bersama menjadi penting untuk membangun karakter siswa secara utuh. Sebagaimana ajaran yang telah diwariskan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa guru memberi tauladan di hadapan siswa (Ing Ngarso Sung Tulodo), memberi spirit di tengah-tengah siswa (Ing Madya Mangun Karso), dan menunjang "perjalanan" siswa dari belakang (Tut Wuri Handayani). Â
Begitu multidimensinya posisi guru, menyebabkan mereka dan siswa harus terjalin dalam kondisi yang "intim".
Pandangan tersebut sejalan dengan paradigma pendidikan pesantren. Hipzon Putra Azma, M.Hum (pengamat kebudayaan Islam) menjelaskan dalam sebuah Gelar Wicara (Sinarlima TV, 19/7/2020), bahwa sebagaimana "halaqah" dalam tradisi di pondok pesantren, pertemuan siswa-guru atau kiai-santri mutlak harus terjadi. Bahkan, momen hidup bersama dalam suatu komunitas merupakan model penanaman karakter yang paling mendasar.
Wacana Pendidikan dan  Realitas Masyarakat
Pada konteks pendidikan karakter ini, peran keluarga terlebih dalam program BDR otomatis menjadi keutamaan. Maka, keadaan yang membuat siswa berjarak dengan sekolah atau guru, harus ditanggapi dengan sikap menerima, bahwa kurikulum akan terkikis otoritasnya dan tunduk pada keorganikan lingkungan keluarga.Â
Sebab, latar belakang siswa yang beragam pun menjadi tantangan bagi perumusan konsep pembelajaran yang tepat sasaran. Kenyataan bahwa terdapat siswa berasal dari keluarga underprivileged, atau bahkan sebagian besar siswa berasal dari panti asuhan (asrama), maka penerapan pembelajaran akan lebih "unik "dari yang telah diagendakan secara umum.
Konsep-konsep pembelajaran virtual harus dikaji berdasarkan kenyataan tersebut. Sebab boleh jadi siswa dalam konteks kelas menengah ke bawah, akan lebih memilih membantu keluarga berdagang di pasar, membantu ibunya mencuci pakaian, memijat punggung ayahnya yang letih pasca "narik ojek", atau membersihkan lingkungan panti/pondok, ketimbang harus berlama-lama memegang gawai, mengerjakan tugas rangkuman makalah "virus covid-19", atau sekedar menyimak  tayangan "cara hitung cepat" di TV.
Saya jadi berpikir tentang dampak aktivitas pembelajaran tatkala PJJ sejak maret lalu. Â Apakah siswa nantinya akan menjadi pribadi yang penuh otaknya, namun individualis dan kering karakternya?
Bagaimana mungkin kedewasaan beragama dan bernegara siswa dapat terbangun dengan hanya melihat tayangan visual, menerima runtutan tugas di WA, menyimak "omongan" di zoom, tanpa atmosfer komunal seperti yang terjadi di sekolah?Â