Bunyi berita tentang cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi tertangkap telinga Empok Hayat. Kalau saja Empok Hayat tak mangkir dari rumah Pak Ableh, lantas memilih selonjoran dan berleha-leha, kabar televisi itu tak akan sempat ia dapatkan.Â
Empok Hayat jadi tergoda untuk beranjak ke halaman depan rumahnya, yang tersambung dengan kebun dan rawa kampung. Ia temui cahaya langit masih serupa dua jam yang lalu.Â
Sama sekali tidak mencerminkan suasana pukul 9 pagi, pikirnya. Kepalanya manggangguk seperti mengamini bunyi berita tadi. Tanda-tanda hujan akan reda memang belum ada.
Empok Hayat tak perlu menghabiskan banyak langkah untuk keluar masuk rumah. Sebab, rumahnya tak seperti rumah Pak Ableh, yang ukuran garasi dan beranda depannya saja sudah melebihi rumah Empok Hayat. Walau bagitu, rumah peninggalan keluarga itu sudah dirasa cukup untuk hidup Empok Hayat bersama satu anak dan suaminya.Â
Setelah menutup pintu dan melipat payung, ia sempatkan melirik akuarium di atas meja kayu. Ia ketuk sisi kaca dengan telunjuknya, membuat seekor ikan berdahi jantuk itu bergerak lembut.Â
" Oh, kamu ternyata..." Empok Hayat tersenyum. Seperti menemukan keindahan yang tak biasa pada ikan itu. TV dimatikan. Suara hujan terdengar lebih tegas.Â
Tibalah saatnya Empok Hayat merasakan nikmaknya rebahan tanpa beban cucian pakaian dan piring, serta kebiasaannya menyeka lantai marmer. Tentu saja rutinitas tersebut dilakukan bukan di rumahnya, tapi di kediaman Pak Ableh.Â
Sejak berkarier di pekerjaanya, hanya kepada keluarga Pak Ableh itulah Empok Hayat merasa nyaman, hingga dapat bertahan selama ini. Empok Hayat sudah begitu dipercaya dan akrab dengan keluarga Pak Ableh. Ia pun dengan mudah izin pagi ini. Karena tahun baru adalah tanggal merah, sesekali merasakan libur seperti orang kantor bolehlah, pikirnya.Â
Walau tidak benar-benar mengantuk, Empok Hayat terus terpejam. "Biarpun rumah seadanya begini, yang penting kita tidak pernah terendam banjir kayak di Komplek Vermai itu yak, Bu." Ia kenang putranya dalam benak.Â
Empok Hayat selalu merasakan kemewahan dari anaknya itu, yang seminggu belakangan sedang di Kabupaten membantu suaminya membangun rumah cluster.Â
Entah mengapa, ia dan suaminya begitu kompak. Hidup mereka dipersembahkan untuk membantu kenyamanan rumah dari keluarga orang lain. Dan mereka selalu bahagia. Terlebih, putra satu-satunya yang baru saja lulus SMA itu begitu saleh dan taat kepada mereka.Â