Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagai Kopi dan Gula, Agama dan Budaya Berkolaborasi Menyegarkan Manusia

2 Desember 2018   11:59 Diperbarui: 2 Desember 2018   20:53 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi(gambar): ©uhdwallpapers.org

"... Orang beragama belum tentu dapat religius. Orang tidak beragama pun juga belum tentu religius. Namun, orang religius sudah pasti beragama dan bisa juga tidak beragama." ( Yusuf .B. Mangunwijaya).

Akhir-akhir ini timbul kembali berita-berita tak sedab mengenai sikap penolakan, bahkan penyudutan terhadap "budaya" tertentu dengan alasan iman (agama). Secara mental, hal ini bukan "barang" baru, terlebih bagi saya pribadi.

Sebab saya teringat beberapa waktu silam, di sela-sela perjalanan usai ibadah tarawih, seorang kerabat saya berkata, "agama jangan dicampur-adukan dengan budaya." Saat itu, saya pilih diam dan menghela nafas. Tak masalah pikir saya, pertimbangan saya adalah, bahwa saya sudah pernah berpikir seperti itu jauh sebelum ia mengatakannya. Saya simpulkan bahwa kerabat saya mengalami apa yang saya alami dulu, yaitu belum tuntasnya berpikir.

Ungkapan "agama jangan dicampuradukan dengan budaya" dulu sempat begitu berarti bagi saya. Terhadap pernyataan tersebut, saya terus berpikir dan menggali. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan budaya ? Lalu apa itu agama? bagaimana posisi agama dan budaya dalam kehidupan manusia? Apa mereka benar-benar patut untuk sepenuhnya dipertentangkan? Pertanyaan itu pun saya jawab secara perlahan melalui proses berpikir dan sejumlah pengalaman. 

Maka, izinkan saya berbagi sedikit banyak mengenai proses berpikir saya itu, sebagai respon terhadap pernyataan kerabat saya tadi. Barangkali ini dapat membantu kerabat saya dan siapa saja yang serupa dengannya, untuk melanjutkan berpikir.

                                             ***

Konsep Budaya dan Kultur

 (Daya cipta manusia dari kesenian hingga teknologi)

Kalau kita buka kamus bahasa, kata "budaya" memilki arti pikiran, akal budi, adat istiadat dan sebagainya. Pemahaman ini tentu belum cukup. Saya temukan uraian Budiono Kusumohamudjojo dalam Filsafat Kebudayaan yang cukup praktis untuk dipahami. 

Secara akar kata, "budaya" bersumber dari bahasa sanskerta, artinya yaitu sesuatu yang berasal dari hasil pikiran atau akal budi manusia. Sedangkan kata lain dari "budaya" yang lazim digunakan yaitu "kultur", merupakan hasil serapan dari bahasa eropa Cultura-Colore yang bermakna mengolah, mengerjakan, makna itu lebih kepada pengolahan tanah yang kemudian digunakan dalam kata agrikultura ( pertanian). 

Maka, dapat kita simpulkan bahwa budaya adalah upaya manusia mengelola sesuatu berdasarkan akal pikirannya. Lantas lahirlah produk-produk budaya, dari bahasa, kesenian, tradisi , adat, hingga teknologi. Dari yang tradisional, modern, kontempoler, hingga yang populer.

Agama dan Religius

(dari langit ke bumi-dari bumi ke langit)

Kemudian, apa itu agama?Berdasarkan yang sudah baku, agama merupakan ajaran atau sistem dari Tuhan yang mengatur sistem-sistem peribadatan manusia ( KBBI). Tapi boleh jadi kita bisa tak sepaham dengan definisi ini. Tentu kita harus temukan kesepahaman terlebih dahulu. Misalnya ada pemahaman lain, bahwa agama berisi aturan seluruh kehidupan manusia, dari yang terkecil hingga yang besar.

Untuk itu, kita perlu cara lain untuk memahami dua definisi tadi. Sebab, realita yang terjadi dapat merusak citra agama itu sendiri. Misalnya, ketika kita yang mengaku bergama, tapi berperilaku di luar tuntunan agama, misalnya kita mencuri, membunuh, berbohong dan sebagainya.

Cara YB. Mangunwijaya dalam mengurai pemahaman hal ini saya kira akan sangat membantu. Mangunwijaya mengurai antara "agama" dan "religius". Ada perbedaan antara agama dan religius. Orang beragama belum tentu dapat religius. Orang tidak beragama pun juga belum tentu religius. Namun, orang religius sudah pasti beragama dan bisa juga tidak beragama.

Artinya, dalam ranah spiritual, agama menyediakan bentuk atau teknis dan ritual tersendiri terkait sistem menyembah Tuhan. Hal itu tergantung apa yang diajarkan dalam Agama, yang kemudian menjadi suatu kewajiban bagi pemeluknya. Lalu, kita dapat menunjukan kepatuhan dan rasa menyembah kita kepada Tuhan di tempat ibadah dengan tempat, waktu, serta cara yang telah disampaikan dalam agama. Namun dibalik itu ada hal yang tak nampak dan tak terbentuk, yaitu proses "penghayatan" hati kita. Penghayatan kita terhadap kehadirat Tuhan inilah yang tak terbendung oleh ruang dan waktu. 

Suatu ketika kita mendaki puncak gunung, di puncak kita merasakan ada getaran yang sama di dalam lubuk hati tatkala melihat matahari tenggelam perlahan. Tiba-tiba kita bersujud, merasakan kebesaran-Nya, dan merasakan begitu rendahnya diri kita. Atau, tatkala kita tiba-tiba merinding menyaksikan bencana alam menimpa saudara kita. Kemudian hati kita terenyuh, tanpa diduga kesadaran kita conect dengan kebesaran kuasa Tuhan. Maka, saya memahami bahwa pengalaman semacam inilah yang disebut religius.

Kolaborasi Budaya & Agama

(Merawat persatuan bangsa dan negara Indonesia)

Lantas, "budaya" dengan segala produknya kemudian meneruskan, membantu, dan menunjang, peran agama tadi. Budaya mampu memberi stimulus yang membantu manusia mengalami religius.

Dalam sejarah perjalanan bangsa kita, kesenian yang juga merupakan produk budaya, sangat berperan dalam membangun "wibawa" agama di mata masyarakat. Seperti yang dilakukan para leluhur kita, Walisongo misalnya, dari lagu/tembang, wayang, corak batik, dan lain sebagainya berhasil membawa nilai-nilai agama Islam masuk ke hati masyarakat Jawa. Boleh jadi, di belahan dunia lain pun memiliki peran budaya tersendiri.

Lebih dari itu, produk-produk budaya yang terus berkembang, bukan hanya terus membantu peran agama, namun berkolaborasi dengan agama untuk menemani perjalanan bangsa dan negara Indonesia. 

Di era-era pasca kemerdekaan misalnya, ketika 1948 bangsa kita sedang dilanda perselisihan, KH Wahab Chasbullah bersama Bung Karno menggagas "Halal bi halal" di istana negara. Semua elit politik dari aneka golongan berkumpul di hari raya Idul Fitri, untuk merundingkan masalah dengan damai.

Tradisi mandek berpikir, ketakseimbangan pemahaman

Saya kira itu hanya sedikit contoh dari episode kebudayaan yang berkolaborasi dengan agama dalam mempererat pergaulan bangsa dan negara Indonesia. Belum lagi kita memasuki budaya populer, musik, pertunjukan, film, dan lain sebagainya. 

Kita juga belum memperdalam pembahasaan mengenai produk budaya dalam akivitas beragama secara teknis, dari sandal, busana, kupluk, mikrofon dan lain sebagainya.

Tapi, waktu terus berjalan, zaman pun terus berkembang. Kita generasi yang disebut generasi millenial ini, rupanya kian gesit aktivitasnya, semakin jarang bertemu, semakin jarang duduk berbincang, semakin enggan membaca, semakin pasrah diterpa derasnya informasi.

Kita menjadi pelaku tradisi mandek berpikir. Kita berhenti memahami penghayatan di balik kebudayaan, kita semakin enggan menemukan "aura" agama. 

                                             ***

Saya rasa, meme berisi filosofi kopi dan gula yang beredar di medsos kita belakangan ini, menarik untuk dikonotasikan sebagai potret ketidakseimbangan pemahaman kita terhadap budaya dan agama.

Ketika kopi terlalu manis, gula disalahkan " gulanya gimana nih! Kebanyakan!", ketika kopi terlalu pahit gula pun diserang, " haduh, gulanya gimana sih ini, kurang nih!" Tapi, ketika kopi terasa nikmat, gula dilupakan, " Nah! Ini baru pas kopinya!".

Saya tak tahu siapa penggagas ide meme tersebut. Tapi saya berterima kasih kepadanya. Karena bagi saya, ibarat kopi dan gula, agama dan budaya dapat bekerja sama menciptakan kesegaran untuk manusia.

Jawa Barat, 2-11-2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun