Dalam sejarah perjalanan bangsa kita, kesenian yang juga merupakan produk budaya, sangat berperan dalam membangun "wibawa" agama di mata masyarakat. Seperti yang dilakukan para leluhur kita, Walisongo misalnya, dari lagu/tembang, wayang, corak batik, dan lain sebagainya berhasil membawa nilai-nilai agama Islam masuk ke hati masyarakat Jawa. Boleh jadi, di belahan dunia lain pun memiliki peran budaya tersendiri.
Lebih dari itu, produk-produk budaya yang terus berkembang, bukan hanya terus membantu peran agama, namun berkolaborasi dengan agama untuk menemani perjalanan bangsa dan negara Indonesia.Â
Di era-era pasca kemerdekaan misalnya, ketika 1948 bangsa kita sedang dilanda perselisihan, KH Wahab Chasbullah bersama Bung Karno menggagas "Halal bi halal" di istana negara. Semua elit politik dari aneka golongan berkumpul di hari raya Idul Fitri, untuk merundingkan masalah dengan damai.
Tradisi mandek berpikir, ketakseimbangan pemahaman
Saya kira itu hanya sedikit contoh dari episode kebudayaan yang berkolaborasi dengan agama dalam mempererat pergaulan bangsa dan negara Indonesia. Belum lagi kita memasuki budaya populer, musik, pertunjukan, film, dan lain sebagainya.Â
Kita juga belum memperdalam pembahasaan mengenai produk budaya dalam akivitas beragama secara teknis, dari sandal, busana, kupluk, mikrofon dan lain sebagainya.
Tapi, waktu terus berjalan, zaman pun terus berkembang. Kita generasi yang disebut generasi millenial ini, rupanya kian gesit aktivitasnya, semakin jarang bertemu, semakin jarang duduk berbincang, semakin enggan membaca, semakin pasrah diterpa derasnya informasi.
Kita menjadi pelaku tradisi mandek berpikir. Kita berhenti memahami penghayatan di balik kebudayaan, kita semakin enggan menemukan "aura" agama.Â
                       ***
Saya rasa, meme berisi filosofi kopi dan gula yang beredar di medsos kita belakangan ini, menarik untuk dikonotasikan sebagai potret ketidakseimbangan pemahaman kita terhadap budaya dan agama.
Ketika kopi terlalu manis, gula disalahkan " gulanya gimana nih! Kebanyakan!", ketika kopi terlalu pahit gula pun diserang, " haduh, gulanya gimana sih ini, kurang nih!" Tapi, ketika kopi terasa nikmat, gula dilupakan, " Nah! Ini baru pas kopinya!".