Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagai Kopi dan Gula, Agama dan Budaya Berkolaborasi Menyegarkan Manusia

2 Desember 2018   11:59 Diperbarui: 2 Desember 2018   20:53 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi(gambar): ©uhdwallpapers.org

Dalam sejarah perjalanan bangsa kita, kesenian yang juga merupakan produk budaya, sangat berperan dalam membangun "wibawa" agama di mata masyarakat. Seperti yang dilakukan para leluhur kita, Walisongo misalnya, dari lagu/tembang, wayang, corak batik, dan lain sebagainya berhasil membawa nilai-nilai agama Islam masuk ke hati masyarakat Jawa. Boleh jadi, di belahan dunia lain pun memiliki peran budaya tersendiri.

Lebih dari itu, produk-produk budaya yang terus berkembang, bukan hanya terus membantu peran agama, namun berkolaborasi dengan agama untuk menemani perjalanan bangsa dan negara Indonesia. 

Di era-era pasca kemerdekaan misalnya, ketika 1948 bangsa kita sedang dilanda perselisihan, KH Wahab Chasbullah bersama Bung Karno menggagas "Halal bi halal" di istana negara. Semua elit politik dari aneka golongan berkumpul di hari raya Idul Fitri, untuk merundingkan masalah dengan damai.

Tradisi mandek berpikir, ketakseimbangan pemahaman

Saya kira itu hanya sedikit contoh dari episode kebudayaan yang berkolaborasi dengan agama dalam mempererat pergaulan bangsa dan negara Indonesia. Belum lagi kita memasuki budaya populer, musik, pertunjukan, film, dan lain sebagainya. 

Kita juga belum memperdalam pembahasaan mengenai produk budaya dalam akivitas beragama secara teknis, dari sandal, busana, kupluk, mikrofon dan lain sebagainya.

Tapi, waktu terus berjalan, zaman pun terus berkembang. Kita generasi yang disebut generasi millenial ini, rupanya kian gesit aktivitasnya, semakin jarang bertemu, semakin jarang duduk berbincang, semakin enggan membaca, semakin pasrah diterpa derasnya informasi.

Kita menjadi pelaku tradisi mandek berpikir. Kita berhenti memahami penghayatan di balik kebudayaan, kita semakin enggan menemukan "aura" agama. 

                                             ***

Saya rasa, meme berisi filosofi kopi dan gula yang beredar di medsos kita belakangan ini, menarik untuk dikonotasikan sebagai potret ketidakseimbangan pemahaman kita terhadap budaya dan agama.

Ketika kopi terlalu manis, gula disalahkan " gulanya gimana nih! Kebanyakan!", ketika kopi terlalu pahit gula pun diserang, " haduh, gulanya gimana sih ini, kurang nih!" Tapi, ketika kopi terasa nikmat, gula dilupakan, " Nah! Ini baru pas kopinya!".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun