Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sungguh Tak Asik Peperangan

2 Juni 2017   02:05 Diperbarui: 8 Juni 2017   15:46 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari ini 1 juni 2017, adalah hari libur nasional untuk pertama kalinya, kita orang Indonesia memperingati hari kelahiran Pancasila. Aku jadi teringat sajak ini,

"beruntung bung karno menggali pancasila pada tahun 45. Kalau sekarang bung karno menggalinya, bukan Pancasila yang didapat, namun air mata”

Sajak Sudjiwo Tedjo yang kerap dibacakanya itu mengingatkanku bahwa setelah penjajah berhasil dibuat hengkang dari Indonesia, bukan berarti permasalah bangsa dan negara kita sepenuhnya sirna. Karena, pancasila sebagai kesepaktan dan solusi persatuan bangsa juga sempat melewati masa perdebatan. Namun mendengar kata Air mata, aku langsung teringat pada suatu kisah, dari sebuah novel yang kebetulan baru saja selesai kubaca awal Romadhon ini, yaitu Novel Keluarga Geriliya.

Yap, walau ini hanya kisah sastra. Aku ingin membagi kisah itu padamu teman temanku, karena bukankah imajinasi awal dari sebuah kehidupan? Seperti ungkapan spongebob. Hehehe…..

                                                                  

Sebagai pelukis, kita bisa menggambarkan burung dan rerumputan. Tentu burung dan rumput tersebut hanyalah gambar, realitas dan kenyataan sepenuhnya adalah burung itu sendiri. Kurang lebih seperti itulah yang dimaksud Pramoedya A Toer pada pengantar buku Keluarga Geriliya. Terbitan Sisi Sastera Moden Fajar Bakti. Kuala Lumpur, Malaysia 1989, yang aku baca itu.
Novel Keluarga Geriliya ini memang tidak secara kasat mata membicarakan soal Pancasila, atau sejarah lahir Pancasila. Namun, melalui emosi yang kudapat dari novel ini, aku harap kita bisa ber-refleksi lebih dalam, mundur beberapa langkah ke belakang, di mana salah satu dari babak -babak kemerdekaan di Indonesia, selain perumusan Pancasila, yakni masa revolusi nasional, juga mengandung pengorbanan jasa yang begitu menguras energi dan batin bangsa kita.

Di mana kepedihan fisik dan batin dirasakan oleh banyak manusia, bukan hanya pejuang, tapi juga singgah di sebuah keluarga, sampai pada berbagai lini persoalan.

Dialog-dialog yang padat, juga narasi yang penuh isi, mampu mengantarkan pembaca ke dalam konflik konflik yang emosional, tentang Ayah dan putranya, tentang Ibu dan putranya, tentang ekonomi rumah tangga, bahkan sampai tentang asmara.

***
Seorang gadis 19 tahun kehilangan pakaiannya. Salamah namanya. Yang aneh, pakaiannya hilang di dalam rumah. Ia mengadu kepada Ibunya, Amilah, bahwa ini bukan pertama kalinya, karena baju saudaranya, Hasan dan Mimi juga sempat hilang.

” Engkau kan sudah besar? Engkau kan sudah perawan? tua?kolot?sudah suka sama lelaki? Kau kan bisa juga mengurus pakaian adik-adikmu?” Amilah membalas keluh anaknya dengam senewen.

Sejak anak kesayangannya itu dijemput militer Belanda, Amilah menjadi uring-uringan. Jiwanya terluka, ia depresi. Pasalnya, Aman merupakan ujung tombak keluarga. Satu-satunya keran biaya yang menghidupi keluarga Amilah. Sebab, 2 anak lelaki lainya Canimin, Kartiman, telah pergi bersama pasukan geriliya. Sedangkan Hasan, masih di bawah umur, tak ubahnya anak putri lainya, Patimah, dan Salami.

Hal demikianlah yang membuatnya terpaksa menjual baju-baju anaknya. Demi menyambung hidup. Lalu kemanakah suaminya?

Keluarga Amilah tinggal di daerah Merdeka, di mana banyak pemuda pemuda pribumi asli dalam pasukan geriliya. Ini berlangsung pada tahun 1949. Amilah merupakan mantan gadis tangsi. Semasa muda, ia hidup dari markas ke markas, menikahi prajurit Belanda dan hidup berpindah pindah barak, sampai akhirnya ia menikah dengan Kopral Paijan, seorang KNIL / NICA.

Suaminya yang seorang militer kompeni itu mati ditangan anaknya sendiri, yaitu Aman dan Canimin. Ironis memang. Namun tak dapat dielak lagi, atmosfir perjuangan sangat berapi-api. Tiga anak lelaki yang sempat dipaksa bergabung menjadi serdadu kompeni oleh Paijan ayah / suami Amilah itu, diam diam masuk ke dalam prajurit geriliya. Mereka yang muda menginginkan kemerdekaan, tegas dan berani menumpas ayah sendiri yang berada di pihak Belanda.

Sejak Aman ditangkap atas tuduhan pelopor ( pemimpin gerakan bawah tanah), penembak atau pembunuhan, ekonomi keluarga Amilah otomatis buyar. Salimah mengajukan diri untuk bekerja, menggantikan posisi abangnya, akan tetapi ini pun menyulut konflik dengan ibunya. Amilah yang mentalnya sedan tertekan makah mencaci Salamah, menghardik dan mencurigai, kalau anaknya itu akan menjual diri. Sebuah kenyataan yang pernah ia lakukan di masa hidup di tangsi.

Demi meredam konflik, Salimah kerap mengalah. Ia beruntung memiliki Darsono calon suami yang rela memerhatikan diri dan kekuarganya. Takmjarang terlibat untuk membantu finansial keluarga. Walau Darsono juga hanya seorang pekerja kasar.

Sementara, Amilah makin stres, ketika mendapat kabar koran bahwa anaknya Aman akan dihukum mati. Terlebih berita tentang Kopral Paijan suaminya yang juga mati ditangan Aman pun ikut tersiar. Puncak kehisterisanya adalah ketika mendengar bunyi letupan senapan bertubi-tubi, di sebuah penjara. Dan  letuoan itu untuk anaknya. Aman.

Mirisnya, Amilah tidak mendendengar ketulusan dan kepatriotan anaknya. Yang iya tahu mungkin Aman hanya tukang beca, yang pulang ke rumah membawa uang untuk kekuarga.

Di penjara, Aman berbicara pada pesakitan lainnya.

” Saudara, aku akan ditembak mati, dosaku pun banyak. Lebih dari lima puluh orang kubunuh, kuhancurkan sumber penghasilan keluarganya, atas segala dosaku, aku serahkan semuanya itu kembali pada Tuhan ” Ucap Aman di dalam penjara, sambil kemudian melaksanakan Sholat.

Keteguhan Aman sebagai pejuang bawah tanah, membuatnya berkorban tanpa ampun. Ia menolak mengajukan permohonan maaf demi keringanan hukuman. Ia benar benar siap mati. Bagi Aman, yang ia lakukan takan disasali oleh bangsanya. Ia hanya berjuang melawan penjajah.

Dan, perngorbanan Aman juga merupakan pengorbanan keluarganya. Adik-adiknya terlantar, Amilah ibunya pun depresi, dicap gila dan mati tak lama setelah Aman dieksekusi. Kepala keluarganya pun Paijan, mati. Belum lagi Salimah, adik tertuanya itu tertipu oleh iming-iming sersan komopeni demi kebebasan Aman, sehingga hilang kegadisannya. Beruntung, Darsono calon suaminya legowo, menerima ia apa adanya, dengan konsisten tetap akan menikahinya.

Aman wafat dengan bangga, atas harapan kemerdekaan bangsanya.

***

Seperti itulah kiranya, kisah kisah dalam Keluaraga Geriliya, yang emosinya masih dapat kurasakan. Kalau saja saat ini terdapat kelompok yang menjadikan pancasila, bahkan beserta hari kelahirannya ini, sebagai perdebatan politik, yang memicu konflik, aku harap itu akan menjadi angin lalu. Sebab, bukankah mensyukuri persatuan itu indah?bukankah penjajahan itu menyedihkan? Bukankah perang sungguh tak menyenangkan?

” ….aku fikir aku tidak mahu jadi perajurit. Aku tidak mahu perang. Aku tidak mahu membunuh orang… “ Ucap Hasan, adik terkecil Aman di samping kubur kakaknya. Aman, putra Amilah.

Bekasi. 1 juni 2017. 

Saya post juga di: https://majwsite.wordpress.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun