Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bang Mamat Gagal Ningkat

13 Juni 2016   12:34 Diperbarui: 13 Juni 2016   12:39 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jauh di balik aduhainya gedung - gedung mol, jauh di seberang lihainya mobil-mobil melintasi tol, jauh dari keemasan puncak monas pada megahnya ibu kota, air kali bekasi tumpah ruah. Sepasang suami istri terjebak di loteng rumah mereka.

  “ Abang...sampai kapan kita tinggal di sini?sampai kapan kita seperti ini? aku pusing bang.... “ 

Di dalam loteng buatan sang suami, mereka saling tatap. Di kanan-kiri berserakan tumpukan pakaian, ada yang tertindih televisi, ada juga yang terhimpit priring-piring. Betapa pengap loteng itu.

 “ .......... “ Tanpa kata, sang suami memeluk istrinya.

 “ Bang...tahun depan kita harus pindah! Atau paling engga abang tingkat rumah ini! pak randi saja sudah meningkat rumahnya, aku capek bang terus-terusan begini.. ”       

      “ ...........” tanpa kata sang suami mencium kening istrinya. 

Sementara itu, di bawah mereka genangan air itu masih terus datang bersama lumpur, bagai tumpahan bajigur dari plastik raksasa. Lambat laun air banjir itu menenggelamkan habis seisi kamar dan menguasai sepenuhnya ruang rumah mereka. “ bruaaakkkkkkk....!” Jendela rumah mereka yang rapuh itu akhirnya tumbang, hanyut terbawa arus. Kemudian, di pojok ruang tamu meja kayu terjungkil. Pada pucuk meja kayu sang suami melihat sesuatu mengambang. Tiba-tiba sang suami melepas pakaian, lalu perlahan terjun dari loteng. 

“ abang ...! mau ngapain.. Hati-hati ah...awas licin! “ 

***

Seperti yang sudah sudah, kalau lagi musimnya banjir  rumah warga Kampung Pegepe biasa terendam hingga pintu rumah tak nampak mata. Rutinitas banjir tahunan yang melanda kampung Pegepe ini tiap tahun selalu besar volume airnya bahkan makin meningkat. Banjir saat ini memang banjir tertinggi dalam sejarah kebanjiran Pegepe yang pernah ada. 

Tak bisa dipungkiri, dalam hati penduduk Pegepe pun banjir itu memang terasa layaknya musibah, membuat mereka susah. Penduduk kampung Pegepe khususnya di gang Q, memiliki satu hal lain yang menjadi kekhawatiran ketika banjir terjadi. Selain deras air mengancam nyawa dan harta benda, juga selain bakteri penyakit dari sampah-sampah, penduduk gang Q juga khawatir dengan si Mamat. Bagi mereka, banjir bukan cuma menjadi bencana materil, namun piristiiwa ini bisa menjadi serangan psikis, si Mamat-lah contohnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun