Bau khas kertas pada buku yang baru kuterima ini mengingatkanku pada harum setiap buku yang aku baca di sebuah toko buku yang terletak di perempatan jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta. Letaknya tidak jauh dari tempatku sekolah di daerah Kotabaru, kala itu sekitar tahun 80' an.
Kubolak balik halaman buku ini dan sengaja kuhirup dalam-dalam harum baunya untuk membawa ingatanku melayang kembali ke saat-saat itu. Â Saat dimana, setiap jam kosong karena guru rapat dan siswa boleh pulang awal menjadi kesempatan bagus untuk glesotan disela-sela gang pada arak-rak ditoko buku itu.Â
Entah apa yang membuat para pegawai toko buku itu dulu membiarkan kami membolak-balik, dan asik membaca buku sambil glesotan dilantai, dan tentusaja ketika selesai tidak dibeli, karena uang saku yang pas-pasan untuk sekedar naik angkot pulang kerumah, kala itu namanya kol-kampus, satu-satunya transport umum di Yogyakarta sebelum adanya bus kota.Â
Mungkin saja mereka menyadari pentingnya literasi bagi anak-anak yang tidak mampu beli buku, atau mereka tidak tahu harus berbuat apa, toh pengawasnya tidak pernah membicarakan hal apa-apa tentang tingkah laku kami kala itu.
Belum lagi aku membaca satu kalimatpun pada buku yang baru tiba ini, kecuali judul pada halaman cover-nya, sebab setiap kali membuka halaman pertama, kembali bau harum itu menyeruak lagi dan muncullah beberapa frame kenangan masa sekolah di SMP Negeri V, Kotabaru, Yogyakarta.
Satu frame yang selalu muncul, meski tidak terkait langsung dengan toko buku, dan aktifitas glesotan membaca buku, adalah kenangan tentang seorang tukang becak yang sedang makan dengan lahapnya disebuah warung kecil, tanpa atap tenda, kecuali satu meja panjang dan dua bangku dikiri kanannya tempat para pembeli duduk dan makan disitu.
Serta seperangkat alat makan, bakul nasi, panci sayur, dan nampan isi gorengan sebagai lauk nasi rames ditempat itu. Tempat itu berada persis disebelah toko buku tempat kami biasa glesotan membaca buku.Â
Berada diantara beberapa pohon perindang berbatang besar dan berdaun lebat yang menaungi warung itu. Entah apa jadinya jika daun-daun kecil pohon itu berjatuhan saat panci sayur tidak ditutup. Mungkin akhirnya jadi bagian dari sayur dan semakin menambah nikmatnya makan ditempat itu.Â
Yang jelas, frame itu amat berkesan, karena pak tukang becak itu tampak sangat menikmati sepiring nasi rames yang disuapnya tanpa sendok, kecuali jemarinya yang dalam keseharian lebih banyak bergaul dengan stang becak yang dikayuhnya.Â
Frame itu mungkin kuat melekat dibenakku, karena menggambarkan kenikmatan sebenarnya berasal dari hal-hal sederhana, sejauh kita mensyukurinya.
Kembali ke toko buku itu. Kadang ketika ibu sedang ada uang atau aku berhasil menghemat uang jajan selama seminggu, beberapa buku itu terbeli juga.
Tentu saja dengan penuh kegembiraan. Jangan membayangkan buku bacaan sekelas novel atau buku pengetahuan yang aku beli, sebab kala itu aku lebih suka membeli beberapa buku cerita bergambar yang lebih mampu membawa anganku ikut menari-nari bersama para tokoh dalam cerita itu.Â
Masih teringat jelas, biasanya sesampai dirumah tidak sampai puluhan menit isi buku itu telah berpindah kedalam relung-relung pemikiranku dan menjadi bagian dari angan-angan.Â
Namun kembali, harum buku itu masih tetap melekat dan secara elektro-kimiawi semakin memperkuat ingatan-ingatan yang ada. Sehingga untuk menukilnya kelak hanya diperlukan rangkaian struktur kimia dari kertas baru yang mewujud harum bau kertas buku baru yang membangkitkan kenangan itu.
Jarak sekolahku di daerah Kotabaru dengan rumahku cukup jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki atau bersepeda, sehingga kala itu aku lebih sering naik kol kampus dari perempatan tamansari dan seringkali diturunkan masih jauh dari daerah Kotabaru, persisnya di ujung jalan C. Simanjuntak.Â
Sehingga untuk bergegas menuju sekolah sebelum bel berbunyi dan gerbang ditutup, aku harus bergegas berjalan melewati sebuah bangunan kuno peninggalan belanda yang kemudian dipakai sebagai lembaga kebudayaan Indonesia-Belanda yang disebut Karta Pustaka.Â
Lalu terus berjalan menapaki trotoar sebelah kanan jalan Jenderal Sudirman hingga kembali melewati toko buku itu. Meski cukup jauh berjalan, seingatku aku belum pernah terlambat masuk sekolah atau terkunci gerbangnya karena telat masuk.Â
Hanya saja, kala itu cerita sedih selalu menyertai hari-hari dimusim penghujan, apalagi jika hujan mulai turun sejak pagi yang artinya, sesekali mencari alasan untuk membolos sekolah karena jelas kol kampus tak akan berhasil menurunkanku di Kotabaru atau di pengkolan jalan C. Simanjuntak tepat waktu, sebab ketika semua terburu-buru, justru semuanya menjadi lambat karena saling bertubrukan.
Hm.... Kembali kubuka lembaran buku baru ini, dan harum baunya mulai memudar, sepertinya bukan karena zat kimia yang terkandung dalam buku itu mulai menguap diterjang angin petang ini di Denpasar yang kencang yang membuat anak-anak beriang-riang bermain layangan.Â
Tapi sepertinya lebih karena otak-ku sudah mulai menyesuaikan dengan bau ini, sehingga memory....perlahan kembali ke peraduannya, menunggu saat ketika harum bau kertas buku baru menyeruak lagi dilain waktu.Â
Kini saatnya kubuka dan kucerna perlahan, kata demi kata, kalimat demi kalimat buku berjudul INDIGO Dua Wajah ini.
Suwun mbak Penulis
Saya tak menikmati karya panjenengan dulu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H