Mohon tunggu...
Drajatwib
Drajatwib Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis amatiran

Menggores pena menuang gagasan mengungkapkan rasa. Setidaknya lebih baik daripada dipendam dalam benak, terurai lenyap dalam pusaran waktu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harumnya Buku Baru, Harumnya Cerita Masa Kecil

14 Juli 2020   21:58 Diperbarui: 14 Juli 2020   21:51 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu saja dengan penuh kegembiraan. Jangan membayangkan buku bacaan sekelas novel atau buku pengetahuan yang aku beli, sebab kala itu aku lebih suka membeli beberapa buku cerita bergambar yang lebih mampu membawa anganku ikut menari-nari bersama para tokoh dalam cerita itu. 

Masih teringat jelas, biasanya sesampai dirumah tidak sampai puluhan menit isi buku itu telah berpindah kedalam relung-relung pemikiranku dan menjadi bagian dari angan-angan. 

Namun kembali, harum buku itu masih tetap melekat dan secara elektro-kimiawi semakin memperkuat ingatan-ingatan yang ada. Sehingga untuk menukilnya kelak hanya diperlukan rangkaian struktur kimia dari kertas baru yang mewujud harum bau kertas buku baru yang membangkitkan kenangan itu.

Jarak sekolahku di daerah Kotabaru dengan rumahku cukup jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki atau bersepeda, sehingga kala itu aku lebih sering naik kol kampus dari perempatan tamansari dan seringkali diturunkan masih jauh dari daerah Kotabaru, persisnya di ujung jalan C. Simanjuntak. 

Sehingga untuk bergegas menuju sekolah sebelum bel berbunyi dan gerbang ditutup, aku harus bergegas berjalan melewati sebuah bangunan kuno peninggalan belanda yang kemudian dipakai sebagai lembaga kebudayaan Indonesia-Belanda yang disebut Karta Pustaka. 

Lalu terus berjalan menapaki trotoar sebelah kanan jalan Jenderal Sudirman hingga kembali melewati toko buku itu. Meski cukup jauh berjalan, seingatku aku belum pernah terlambat masuk sekolah atau terkunci gerbangnya karena telat masuk. 

Hanya saja, kala itu cerita sedih selalu menyertai hari-hari dimusim penghujan, apalagi jika hujan mulai turun sejak pagi yang artinya, sesekali mencari alasan untuk membolos sekolah karena jelas kol kampus tak akan berhasil menurunkanku di Kotabaru atau di pengkolan jalan C. Simanjuntak tepat waktu, sebab ketika semua terburu-buru, justru semuanya menjadi lambat karena saling bertubrukan.

Hm.... Kembali kubuka lembaran buku baru ini, dan harum baunya mulai memudar, sepertinya bukan karena zat kimia yang terkandung dalam buku itu mulai menguap diterjang angin petang ini di Denpasar yang kencang yang membuat anak-anak beriang-riang bermain layangan. 

Tapi sepertinya lebih karena otak-ku sudah mulai menyesuaikan dengan bau ini, sehingga memory....perlahan kembali ke peraduannya, menunggu saat ketika harum bau kertas buku baru menyeruak lagi dilain waktu. 

Kini saatnya kubuka dan kucerna perlahan, kata demi kata, kalimat demi kalimat buku berjudul INDIGO Dua Wajah ini.

Suwun mbak Penulis
Saya tak menikmati karya panjenengan dulu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun