Jika di Wuhan, China, virus corona sudah muncul dan merebak sejak awal tahun 2020 dan baru kemudian merambat ke berbagai penjuru dunia, maka di Indonesia kasus positif Covid-19 pertama baru dilaporkan terjadi pada tanggal 2 Maret 2020, setelah banyak kalangan mempertanyakan keterbukaan Indonesia untuk melaporkan kasusnya yang kala itu memang belum muncul.Â
Kalau dihitung dalam waktu, maka sampai memasuki bulan Mei 2020 perjalanan kasus Covid-19 di Indonesia sudah memasuki bulan kedua dan banyak pakar memperkirakan perjalanan ini masih akan panjang. Beberapa pakar memberikan prediksi yang bervariasi mengenai kapan perkiraan krisis Covid-19 akan berakhir.Â
Diantaranya pakar dari Singapura, Jianxi Lou (Kompas, 30 April 2020) yang menyebut pandemi Covid-19 di Indonesia akan berakhir pada 31 Juli 2020. Sementara harian CNBC Indonesia pada tanggal yang sama menyebutkan para ilmuwan dari Singapore University of Technology and Design (SUTD) memprediksi seluruh kasus Covid-19 di dunia akan berakhir pada 1 September 2020.Â
Disisi lain, Direktur Lembaga riset Eijkman Profesor Amin Soebandrio seperti dikutip dalam Bisnis.com 22 April 2020 menyebutkan bahwa titik puncak perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia baru akan terjadi pada akhir Mei 2020. Sedangkan data kasus terkonfirmasi  secara nasional per tanggal 6 Mei 2020 menyebutkan jumlah 12.438 kasus dengan kasus terkonfirmasi tertinggi terjadi di provinsi DKI Jakarta. Artinya jalan masih panjang.
Meskipun tampaknya akhir dari cerita pandemi corona di Indonesia dan dunia masih akan panjang, namun banyak pihak kini mulai membicarakan gambaran situasi yang akan terjadi pasca pandemi ini. Berdasarkan cerita sejarah terjadinya pandemi flu Spanyol pada tahun 1918-1920, serta perkembangan kasus covid-19 di Wuhan, China, Korea Selatan, Vietnam serta beberapa negara seperti Inggris, kebanyakan menyepakati pandangan bahwa situasi tidak akan kembali sama seperti sebelum terjadinya pandemi Covid-19.Â
Things are not going to be the same as it was, before the corona virus emerged. Bisa jadi pemicu diskusi tentang gambaran situasi pasca pandemi juga dipicu oleh faktor psikologis karena berada dalam situasi penuh keterbatasan, kecemasan dan ketakutan dalam jangka waktu yang cukup lama. Mengacu pada pendapat Profesor Amin Subandrio diatas, saat inipun kita belum masuk pada tahap puncak pandemi Covid-19 di Indonesia. Hari hari kedepan masih akan diwarnai dengan peningkatan angka penularan Covid-19 dan berbagai permasalahan sosial masih akan banyak bermunculan.
Melihat Normal Baru Di Negara Lain
Wuhan, ibukota provinsi Hubei di daratan Tingkok merupakan tempat bermulanya penularan virus corona pada sekitar bulan Desember 2019 yang kemudian disebut sebagai Covid-19 oleh lembaga kesehatan dunia (WHO). Dalam perkembangan, Wuhan pula yang disebut sebagai kota pertama yang mengakhiri pandemi Covid-19 pada awal bulan April 2020, meskipun kemudian pengumuman bahwa kondisi "bebas wabah" dicabut kembali karena muncul kasus-kasus baru dan kemudian secara perlahan dikembalikan ke situasi normal baru dengan membuka kembali sekolah, perkantoran dan aktifitas publik dengan penerapan protokol kesehatan secara ketat.Â
Sementara itu, Vietnam disebut sebagai negara kedua yang berhasil mengalahkan pandemi Covid-19 dengan jumlah kematian nihil. Keberhasilan Vietnam seperti dikutip dari  GridHealth.id melaporkan kasus Covid-19 terakhir pada 15 April 2020 dengan hanya dua kasus saja, disusul kemudian dengan pelonggaran kebijakan pemerintah mengenai pembatasan sosial dan pembukaan sekolah-sekolah dan kegiatan umum mulai tanggal 4 Mei 2020 dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.Â
Menyusul negara berikutnya yang melonggarkan kebijakan pembatasan sosial adalah Korea Selatan pada tanggal 6 Mei 2020 meskipun tetap diterapkan kehati-hatian dalam membuka arus aktifitas publik di negara yang telah berhasil mengendalikan sebaran virus corona ini.
Berkaca dari pengalaman beberapa negara lain yang disebutkan diatas, harapan akan pelonggaran kebijakan pembatasan sosial di Indonesia menjadi sebuah hal yang banyak ditunggu masyarakat setelah berada dalam keterkungkungan sosial dalam waktu yang cukup lama.Â
Meskipun untuk menuju kesana, banyak hal masih harus dikerjakan oleh pemerintah bersama dengan masyarakat, khususnya dalam menjaga kondisi yang kondusif dimana masyarakat tetap mematuhi kebijakan pemerintah yang diterapkan saat ini. Kepatuhan sosial adalah kunci kecepatan untuk mencapai kondisi yang diharapkan sebagaimana telah terjadi di beberapa negara lain di kawasan Asia.
Tingkat kepatuhan masyarakat di Indonesia memang bervariasi sebagai hasil dari karakter dan budaya setempat serta keseriusan pemerintah daerah dalam menerapkan kebijakan pembatasan sosial di wilayahnya masing-masing. Hal ini pun masih dipengaruhi oleh kepadatan dan sebaran penduduk yang berbeda beda di tiap wilayah.Â
Sebagai contoh, wilayah Provinsi DKI Jakarta sebagaimana dikutip dari Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 yang menyebutkan Provinsi DKI Jakarta sebagai provinsi terpadat dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 15.292 orang per kilometer persegi. Jadi tidak mengherankan juga bahwa saat ini provinsi yang paling terpapar Covid-19 berdasar data akumulatif terakhir adalah DKI Jakarta dengan 4.770 kasus terkonfirmasi per tanggal 6 Mei 2020.
Beberapa faktor diatas, yakni, faktor budaya dan perilaku masyarakat (kepatuhan terhadap pemerintah); faktor kinerja pemerintah daerah serta faktor kepadatan penduduk merupakan faktor-faktor dominan yang akan menentukan cepat atau lambatnya berakhirnya masa pandemi covid-19 di suatu wilayah. Semoga faktor-faktor spesifik tersebut sudah masuk dalam faktor yang diperhitungkan oleh para pakar dalam memperhitungkan kapan Indonesia secara keseluruhan akan terbebas dari virus corona dan memasuki tahap selanjutnya yakni, normal baru.
Bentuk Normal Baru, Seperti Apakah di Indonesia?
Banyak pakar menyebutkan bahwa krisis Covid-19 ini telah merubah perilaku dan berbagai aturan sosial secara global, dimana kebanyakan aktifitas manusia saat ini dilakukan secara daring, terhubung secara digital melalui internet. Sebagai contoh aplikasi rapat daring Zoom dalam tiga bulan terakhir setelah pandemi Covid-19 ini telah mengeruk keuntungan sebesar Trilyunan rupiah. Dari bermula hanya  10 juta pengguna per hari pada Desember 2019, melonjak hingga 200 juta orang per hari pada Maret 2020.Â
Dan kegiatan rapat daring pada masa pandemi Covid-19 ini menjadi kegiatan baru dengan frekuensi rapat yang mungkin lebih sering ketimbang kegiatan rapat pada masa sebelumnya di tiap organisasi.Â
Menurut Profesor Yohanes Eko Riyanto dari Nanyang Technological University Singapore, seperti dikutip dari Oke-Finance tanggal 2 Mei 2020 menyebutkan bahwa  situasi pasca-Covid 19 yang disebut The New Normal akan diwarnai oleh perubahan perilaku yang memunculkan situasi dan tatanan ekosistem baru yang terkoneksi dengan perangkat digital dan internet. Tentusaja hal ini terjadi karena diberlakukannya pembatasan sosial selama masa pandemi Covid-19. Namun demikian, diperkirakan kegiatan daring ini akan tetap bertahan dan menjadi tren sosial tersendiri pasca covid nantinya.
Pengendoran pembatasan sosial tidak serta merta akan membuat orang leluasa beraktifitas sebagaimana sebelumnya. Beberapa negara yang lebih dulu bangkit dari pandemi covid seperti China, Korsel dan Vietnam bahkan di beberapa negara seperti Inggris di daratan Eropa tetap memberlakukan protokol kesehatan secara ketat untuk tetap menjaga situasi tetap kondusif untuk beraktifitas.Â
Hanya negara yang bodoh yang membiarkan masyarakatnya ber-euforia setelah kebijakan pembatasan sosial dicabut, sekolah dan kantor pemerintah dibuka kembali dan aktifitas sosial dan ekonomi berjalan kembali tanpa penerapan protokol kesehatan secara ketat. Â Sebab hal ini sudah terbukti menimbulkan permasalahan baru, munculnya ancaman pandemi gelombang kedua dan seterusnya.
Tingkat Kesadaran Kesehatan dan Kebersihan Masyarakat Meningkat
Selain dari ketergantungan masyarakat yang semakin tinggi terhadap interkoneksi sosial melalui jaringan internet, kesadaran masyarkat untuk menjaga kesehatan dan kebersihan diri serta lingkungan diperkirakan akan semakin meningkat. Cuci tangan dengan sabun sebelum memasuki ruangan kelas akan menjadi budaya baru bagi pelajar dimanapun.Â
Demikian juga dengan pendeteksian suhu tubuh dengan alat "thermo-gun" dilanjutkan dengan aktifitas cuci tangan atau penggunaan hand-sanitizer sebelum masuk ke gedung perkantoran juga akan menjadi budaya baru. Tiap orang akan saling meningatkan hal ini dan saling menguatkan menjadi budaya berperilaku yang baru. Pada tahap awal penggunaan masker masih akan diberlakukan dengan ketat, sampai kemudian sedikit demi sedikit kebiasaan ini akan ditinggalkan ketika masa krisis covid sudah jauh lewat.
Kerumunan sosial pada batas-batas tertentu yang masih bisa dikelola, seperti didalam gedung bioskop, antrian pembelian tiket, di pasar-pasar (tradisional maupun modern), kegiatan ibadah, dan sebagainya akan diberikan regulasi oleh pemerintah dan orang akan menghindari area publik yang tidak menerapkan regulasi pemerintah tersebut, karena sadar akan kemungkinan kembali terjangkit covid-19.
Penyesuaian Kebiasaan Sosial
Kebiasaan berjabat tangan apalagi cipika-cipiki yang sebelumnya menjadi bagian dari aktifitas sosial akan digantikan dengan saling sapa dan tegur pada jarak aman tanpa bersentuhan tangan. Bentuk salam baru sebagai kreasi yang dikembangkan dan disepakati kelompok masyarakat akan menjadi kebiasaan baru tanpa meningalkan aspek keakraban dan kelekatan sosial yang selama ini telah ada.Â
Yang menarik tentusaja bagaimana regulasi yang akan diterapkan pada moda transportasi baik darat, laut dan udara, meningat selama ini moda transportasi tidak pernah sepi dari penumpang. Pada masa awal ketika pandemi covid mulai terjadi dan pembatasan moda transportasi belum diterapkan secara ketat, terbukti bahwa transportasi menjadi bagian dari proses penularan karena penumpang yang berdesakan pada ruang sempit yang tersedia dan tidak mungkin diterapkannya physical distancing.Â
Sangat dimungkinkan setiap penumpang transportasi umum pada masa pasca covid diharuskan memiliki surat keterangan sehat, atau setidaknya harus lolos uji thermo-scan, memakai hand sanitizer dan menggunakan masker selama perjalanan. Penumpang yang tidak menaati ketentuan mungkin akan dikenakan sanksi berupa denda yang diatur dalam regulasi khusus.
Apakah sebenarnya kebiasaan sosial, khususnya terkait interaksi sosial di masyarakat akan benar-benar berubah. Sepertinya tidak, sebab yang terjadi sebenarnya adalah penyesuaian terhadap bentuk-bentuk ekspresi interaksi sosial yang baru, seperti halnya perilaku tidak bersalaman (tidak berjabat tangan); perilaku menjaga jarak fisik; perilaku menggunakan masker dan perilaku menjaga kebersihan diri.
Pemerintah Akan Sibuk Menyiapkan Regulasi Baru
Untuk tetap menjaga kondisi kesehatan masyarakat dan menghindari kembalinya serangan covid, pemerintah akan sibuk menyiapkan berbagai regulasi baru, mungkin saja akan muncul Instruksi Presiden (Inpres); Peraturan Menteri (Per-men) maupun Peraturan Daerah (Perda) di tingkat provinsi dan kabupaten sesuai dengan karakteristik dan tantangan wilayah yang dihadapi.Â
Hal ini diperlukan untuk mengatur berbagai hal yang menyangkut kepentingan masyarakat, akses terhadap layanan publik dan standar kesehatan yang tetap harus dijaga. Sebagai contoh mungkin regulasi ketentuan jumlah penumpang yang diperbolehkan diangkut oleh sebuah pesawat jenis tertentu untuk tetap menjaga physical distancing dan keselamatan penumpang.Â
Tentusaja penerapan regulasi ini tentu tidak mudah, sebab kehidupan bisnis maskapai juga menjadi hal yang harus diperhitungkan. Atau regulasi mengenai syarat operasional gedung bioskop; atau regulasi mengenai izin menyelenggarakan kegiatan sosial yang selama ini dikelola oleh Kepolisian RI.
Peran Dokter dan Tenaga Medis Menjadi Semakin Penting
Selama masa pandemi covid ini setidanya ada 44 tenaga medis yang terdiri dari 32 dokter dan 12 perawat yang meninggal karena terpapar covid-19. Data ini belum termasuk jumlah tenaga medis yang terpapar dan masih dalam perawatan di berbagai instalasi medis. Dalam masa pandemi covid inilah peran tenaga medis menjadi sangat vital.Â
Dari berbagai cerita yang banyak beredar di media sosial, kebanyakan dokter yang terlibat secara langsung merawat pasien covid-19 terpaksa harus menginap di instansi tempatnya bekerja, atau ditampung dibeberapa penginapan yang disediakan oleh pemerintah lokal. Yang paling penting lagi mereka rela meninggalkan keluarga dan sanggup untuk tidak bertemu dengan anggota keluarga selama mereka bertugas.Â
Sedemikian sentralnya peran tenaga medis dalam masa pandemi covid, sehingga perlakuan sebagian masyarakat yang menolak penginapan, perawatan bahkan pemakaman tenaga medis yang gugur karena terpapar covid mendapatkan hujatan dari masyarakat luas, bahkan beberapa diantaranya telah mendapatkan sanksi hukum.
Kedepan, pada masa pasca covid, peran ini tetap tidak akan tergantikan. Kesadaran akan pentingnya dan cepatnya penanganan kasus covid menimbulkan kesadaran lebih tinggi akan pentingnya pengembangan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) diseluruh wilayah Indonesia. Tidak terkecuali kebutuhan pembangunan dan pengadaan peralatan laboratorium canggih yang bisa memproses hasil swab data covid yang selama ini hanya ada di kota-kota besar di Indonesia kedepan perlu diadakan lebih banyak lagi dan tersebar ke seluruh Indonesia secara merata.
Model konsultasi medis secara daring dengan para dokter untuk memenuhi kebutuhan masyarakat diperkirakan tetap akan tinggi dan diminati oleh masyarakat, serta sangat mungkin akan dikelola secara profesional melalui aplikasi internet berbayar (atau setidaknya cukup murah) namun tetap terjangkau oleh masyarakat. Hanya kasus-kasus medis tertentu yang memerlukan kehadiran pasien secara langsung dan bertemu dengan tenaga medis untuk dilakukan observasi medis secara mendalam dengan protokol medis yang ditingkatkan.
Apakah Normal Baru Akan Bertahan Lama
Ibarat sebuah pendulum yang tengah bergoyang karena dipengaruhi oleh daya tarik bumi (grafitasi) melintasi titik keseimbangan berkali kali karena terhambat oleh tali-kekangnya, maka ia memerlukan waktu beberapa lama untuk kemudian kembali menjadi tenang dan berada pada titik keseimbangan atau porosnya. Tanpa bermaksud mengulik lebih jauh rumus fisika gerak harmonik sederhana, kita bisa menggunakan analogi tersebut untuk melihat fenomena sosial yang sedang terjadi dan akan terjadi kemudian.Â
Kita dapat ibaratkan saat ini, krisis yang diakibatkan pandemi covid-19 sebagai sebuah gaya (force) yang menyebabkan bandul (keseimbangan dunia) bergerak secara dinamis, menguat, berayun secara beraturan mengikuti gaya yang ada, dan kemudian secara perlahan kembali berada pada titik keseimbangannya lagi.Â
Dinamika sosial yang terjadi dengan segala problematikanya merupakan bagian dari hiruk-pikuknya gerakan bandul ini. Banyak yang terdampak oleh gaya/force ini, khususnya yang selama ini bersikap tidak adaptif terhadap berbagai perubahan. Yang menjadi penyintas (survivor) hanyalah yang mampu mengikuti gerakannya yang perlahan namun pasti kembali berada pada titik/poros keseimbangannya lagi.Â
Persoalannya disini hanyalah aspek waktu, sebagaimana dicoba untuk dilakukan perhitungan dengan berbagai model yang dikembangkan untuk melihat kapan pendulum bernama covid-19 ini akan berhenti dan kesetimbangan akan tercipta lagi. Semoga para ahli sudah benar dalam membuat analisis, dan semoga gaya/force dari bandul bernama covid-19 ini akan  segera melemah dan semua kembali tenang. Adakah hal baru? Mungkin tidak.Â
Sebagaimana sejarah telah membuktikan bahwa bertahun-tahun setelah terjadinya pandemi flu Spanyol pada 1918-1920 toh keadaan menjadi normal kembali, hanya dengan penambahan dan penyesuaian sebagai bentuk dari akumulasi diperolehnya pengetahuan semakin lengkap yang dimiliki oleh kebudayaan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H