Bicara waktu, barangkali krisis Covid-19 ini akan menjadi krisis yang paling lama, setidaknya yang pernah saya alami. Mungkin juga bagi anda semua. Secara khusus di Indonesia, krisis ini baru dimulai pada awal Maret 2020 dilanjutkan dengan terbitnya Maklumat Kapolri No. Mak/2/III/2020 pada tanggal 19 Maret 2020. Hingga kini sudah masuk di bulan April, tanda tanda peningkatan kasus masih dilaporkan dari berbagai penjuru negeri.
Menurut update Satgas Covid-19, ada dua provinsi di Indonesia yang masih belum ditemukan ada kasus positif corona, namun dari berbagai informasi yang diterima, ratusan orang sudah ditetapkan sebagai Orang Dalam Pemantauan Covid-19 (ODP) khususnya di provinsi NTT. Melihat dari tren nasional yang terus meningkat, sepertinya hanya soal waktu saja kedua provinsi ini juga akan mencatat kasus positif corona di wilayahnya, mengingat aspek pergerakan orang dari dan keluar provinsi, maupun adanya bentuk kerumunan yang tidak bisa dicegah aparat keamanan masih saja terjadi.
Dua peristiwa kerumunan massa yang terjadi di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat dan kabupaten Alor, di Nusa Tenggara Timur contohnya, dimana dikedua wilayah ini pada tanggal 05 April 2020 lalu, telah terjadi kerumunan massa, jumlahnya mencapai ribuan. Mereka berkumpul untuk menyambut kepulangan artis lokal yang berkompetisi di LIDA Indonesia (Liga Dangdut), sementara aparat keamanan tidak mampu membendung kerumunan tersebut.
Kasus kerumunan massa menyambut peserta LIDA yang terjadi di wilayah Lombok Timur patut menjadi kekhawatiran, karena wilayah tersebut merupakan zona merah Covid di Provinsi NTB. Bisa kita bayangkan betapa ngrinya berada dalam kerumunan massa di daerah zona merah semacam itu, hanya demi melihat dari jauh, idola mereka.
Membayangkan betapa rumitnya situasi ini bagi pimpinan negeri ini, mengingat banyak hal tentu menjadi pertimbangan beliau, pada akhirnya toh presiden Jokowi menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sesuai dengan UU Karantina Kesehatan No. 6 Th. 2018 pada selasa, 31 Maret 2020. Bukan hal yang mudah membuat keputusan tersebut ditengah desakan berbagai kalangan untuk memberlakukan total lockdown.
Dengan menyebut pembelajaran di negara lain yang menerapkan lockdown namun menghasilkan kekacauan massal, pilihan PSBB lah yang diterapkan Presiden Jokowi dengan ancangan berikutnya penerapan darurat sipil, jika memang situasi memerlukan tindakan lebih tegas dan keras untuk mendisiplinkan masyarakat mengurangi aktifitas diluar rumah untuk memutus rantai penyebaran virus corona.
Membayangkan sebentar lagi sudah masuk ke bulan puasa kira-kira tanggal 23 April 2020 dan sebulan kemudian adalah perayaan lebaran, tentusaja menjadi hari yang sangat istimewa bagi umat Islam untuk bisa merayakan hari raya Eidul Fitri bersama keluarga besar di kampung halaman.
Namun kali ini berbeda, Covid-19 menjadi hantu yang menghalangi rencana pulang kampung besar-besaran ini. Tentusaja dikhawatirkan tradisi pulang kampung ini akan semakin meningkatkan penyebaran virus corona dari satu daerah ke daerah lain secara masif.
Berbagai himbauan para kepala daerah telah disuarakan, namun toh gelombang arus mudik sudah mulai terjadi sejak dini pada awal April ini. Tidak gampang memang, mungkin saat ini para kepala daerah sedang pusing memikirkan cara apalagi yang harus diterapkan untuk melakukan pembatasan sosial terkait tradisi mudik ini.
Lalu sampai kapan krisis Covid ini akan berakhir, tentusaja ini pertanyaan normal dari saya, dan anda semua. Mengingat krisis ini sudah berjalan lebih dari dua bulan sebenarnya di Indonesia, meski awalnya krisis mulai menyeruak dari Wuhan, China sejak Desember 2019. Menarik untuk dicermati bahwa diantara hiruk pikuk penanganan krisis Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah masyarakat mulai tergugah untuk turut campur, mengelola bantuan secara individual maupun berkelompok, diarahkan kepada tim medis yang bekerja keras menangani krisis ini di lini-depan.
Tidak sampai disitu saja, mengingat bahwa kebijakan PSBB tentusaja berdampak signifikan terhadap kondisi ekonomi, khususnya pada sektor informal yang secara langsung merasakan dampaknya. Pasar yang mulai sepi pengunjung, demikian juga pertokoan dan mall yang diantaranya sudah menghentikan operasional. Tempat hiburan tanpa pengunjung, serta warung makan yang saat ini hanya melayani pembelian secara online melalui jasa hantaran daring.
Melihat kondisi demikian, masyarakat juga tergugah untuk mulai memberikan bantuan secara langsung pada pengusaha kecil dan bidang jasa yang mulai terdampak, berupa pemberian makan siang/sore gratis bagi para pengemudi ojol, penyapu jalanan, para penawar jasa angkut barang belanjaan di pasar atau di Bali dikenal sebagai tukang suun. Paket sembako pun telah dikumpulkan dari para donator di setiap banjar di Bali dan mulai dibagikan kepada masyarakat terdampak. Tentusaja fenomena solidaritas atau kesetiakawanan sosial ini menjadi hal yang melegakan ditengah suasana krisis Covid-19.
Ketika bangun dari tidur, saat ini kita berharap mendengar berita baik mengenai krisis ini, setidaknya berharap ada perbaikan situasi. Namun yang kita temukan adalah angka-angka yang dirilis Satgas Covid- 19 nasional yang terus meningkat. Belum lagi ramai orang saling membagi informasi mengenai perkembangan Covid ke media sosial, seolah menjadi pembagi pertama kali akan "tampak gagah" karena merepresentasikan diri sebagai sumber informasi utama yang harus diperhitungkan. Alih-alih memunculkan rasa hormat, orang-orang semacam ini justru semakin memperkeruh situasi dengan menciptakan kecemasan dan negative feeling yang berkepanjangan. Apa dampaknya?
Orang mulai lelah secara mental/psikis, mencoba melarikan diri dari berita-berita tentang covid ke berita lain yang bisa menenangkan diri, entah menonton video GAG di youtube supaya masih bisa ketawa ketiwi, atau mencari kelucuan-kelucuan di media sosial yang mulai ramai tersebar.
Ini semua adalah tanda kelelahan mental/psikis yang semakin meluas. Semoga masyarakat masih bisa menemukan cara-cara baru yang kreatif dalam menghibur diri dan menghibur teman dalam situasi krisis ini.
Di media elektronik yang mudah diakses siapaun yang memiliki gawai-pintar sudah banyak pakar yang mencoba membuat prediksi kapan krisis Covid-19 ini akan berakhir di Indonesia. China yang dikabarkan sudah mengakhiri krisisnya, ternyata diberitakan mulai menghadapi krisis gelombang kedua. Beberapa pakar menyebut akhir Mei 2020, namun tidak sedikit pakar yang memperkirakan bahwa kriris ini masih akan berlangsung dan berakhir pada kisaran Juni atau Juli 2020 nanti. Tentusaja tiap pakar memiliki data dan fakta yang cukup untuk dianalisis dan menghasilkan simpulan-simpulan demikian. Namun tentusaja ini juga merupakan sebuah prediksi atas variabel-variabel yang sudah teridentifikasi. Bagaimana bila masih ada variable-variabel lain yang tidak bisa dikendalikan, seperti alam misalnya.
Sampai kapan?
Saya hanya bisa membayangkan lompatan waktu pada Agustus 2020 paling cepat untuk semuanya bisa kembali bebas. Berharap perayaan 17 Agustus 2020 menjadi tonggak kedua kemerdekaan Indonesia, bukan dari penjajahan kolonial, tapi dari penjajahan virus corona. Jika waktu itu para pejuang bertarung mati-matian melawan kaum kolonial, kini saya menyaksikan semua orang sedang berjuang dengan caranya sendiri sendiri tapi tetap saling menolong melawan virus corona, dengan beberapa pahlawan kesehatan yang telah gugur diserang virus corona.
Semoga....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H