Pak Tris sendiri merasa ikut senang bisa melihat dan turut dalam perkembangan "coffee-scene" di Lombok. Dalam berjalannya waktu, ada beberapa customer Maktal Coffee yang terinspirasi dan membuka usaha kopi sendiri, diantaranya Betterbulkoffie, Ngopihib (kopi seduh keliling menggunakan sepeda di sekitar Mataram), Retrokopi (coffeetruck pertama di mataram), atau Kopikitakedai.Â
Apresiasi masyarakat terhadap kehadiran kopi nusantara yang disediakan di beberapa kedai kopi di kota Mataram termasuk di Maktal Coffee cukup baik. Pengenalan terhadap kopi nusantara dan keistimewaan citarasanya mulai berkembang.Â
Dalam obrolan kami, pak Tris juga menekankan pentingnya memberikan istilah yang tepat untuk kedai kopi, gerai kopi atau coffee dan bukan cafe, sebab menurutnya istilah "cafe" di pulau Lombok yang juga disebut pulau "seribu masjid" dikhawatirkan lebih bermakna  "negatif".Â
Setidaknya kata cafe persepsinya jadi tempat nongkrong atau di persepsi menjadi cafe remang remang, kata pak Tris. Menurut beliau lagi, soal istilah itu menjadi penting karena mereka sedang berada pada tahap pengenalan kopi nusantara kepada khalayak yang perlu melihat sisi positifnya, termasuk penghargaan dan peningkatan ekonomi petani kopi lokal, ketimbang sisi negatifnya yang jadi menonjol.
Tidak terasa, saking asiknya ngobrol bersama pak Tris sambil menyeruput kopi Toraja Perindingan yang saya pilih, malam mulai larut, meski Maktal Coffee masih juga ramai dengan pengunjung, saya menyudahi obrolan karena harus kembali ke kamar hotel untuk mempersiapkan bahan pekerjaan keesokan harinya. Karena esok masih akan ada jadwal meeting di Maktal Coffee bersama beberapa rekan, jadi sebelum pamit saya memesan tempat untuk kegiatan esok.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H