Bagi orang yang sudah kadung gemar minum kopi seperti saya, setiap berkunjung ke daerah lain pasti tidak meninggalkan kesempatan untuk mencari kedai kopi yang menyajikan kopi istimewa, terlebih jika daerah itu juga memiliki kopi yang khas berasal dari daerah setempat. Kali ini, untuk kesekian kali saya berkunjung ke kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat untuk suatu keperluan pekerjaan.Â
Setiap ke Mataram saya selalu menyempatkan diri untuk menengok kedai kopi pak Trisno, owner dari Maktal Coffee yang ada di jalan Maktal, Mataram. Awalnya memang atas rekomendasi anak saya yang juga mulai menekuni dunia per-kopi-an dikota gudeg, setelah itu jadi ketagihan datang terus.
Sejak tahun 2012, ketika kota ini mulai terlihat hidup dengan kemunculan spot-spot malam seperti cafe dengan life music, menjelajah kota Mataram diwaktu malam jadi tambah menarik. Tidak seperti tahun tahun sebelumnya ketika menikmati malam harus dilakukan di daerah wisata Senggigi.Â
Namun bagi saya, berkunjung ke Mataram, selain menikmati hidangan kuliner khas Lombok seperti ayam taliwang, soto yugisah, sate rembiga atau nasi balap puyung, menghabiskan malam sambil minum kopi, ngobrol bersama teman atau menikmati koneksi intermet dari kedai kopi merupakan hal yang istimewa. Terlebih jika kopi yang disajikan adalah kopi istimewa Indonesia.
Seperti kunjungan kali ini, saya beruntung karena  memiliki banyak waktu untuk mampir ke Maktal Coffee selain untuk menikmati kopinya, saya juga menjadikan spot ini untuk bertemu beberapa kolega membahas pekerjaan sambil ngopi.Â
Dan yang lebih menggembirakan karena punya banyak kesempatan ngobrol dengan pak Tris yang punya banyak cerita soal per-kopi-an di Lombok. Buat saya, kopi tidak sekedar soal rasa untuk dinikmati, tapi menyimak cerita berbagai persoalan yang ada dibalik bisnis kopi nusantara, mulai dari hulu, para petani sampai di hilir para konsumen, selalu menarik.Â
Diantara kesibukannya, pak Tris suka juga berbagi cerita tentang perkopian kepada saya. Khususnya cerita awal mula kopi nusantara dikenal di Mataram dan saat Ia mulai tertarik mencoba bisnis ini pada tahun 2011, ketika bandara lama di Lombok yang bernama bandara Selaparang berpindah ke lokasi baru dan berganti nama menjadi Bandara Internasional Lombok.Â
Dan geliat ekonomi di kota Mataram makin terasa termasuk usaha perkopian, khususnya kopi nusantara juga mulai dikenal dan berkembang. Sejak itu pula, setelah menimba pengalaman di Jakarta, pak Tris memberanikan diri untuk membuka kedai kopi yang secara khusus menyajikan kopi nusantara seperti Aceh Gayo, Toraja, Papua, dan Jawa Timur.Â
Sehingga seringkali kopi sembalun susah dijumpai dan dia pasarkan di kedai kopinya. Dalam kunjungan sebelumnya saya memang pernah dapat produk kopi sembalun dan mencoba citarasanya yang lumayan, meski belum sebanding dengan kopi Gayo atau Toraja yang lebih dulu terkenal.
Menurut pak Tris, sejak tahun 2014 perkembangan perkopian di kota Mataram semakin ramai dengan masuknya beberapa brand seperti Coffeetoffee dan Excelso, menyusul dibukanya Lombok Epicentrum Mall yg didalamnya ada banyak brand nasional coffeeshop seperti Maxx, Mokko, Jco, dan kemudian Starbucks hadir di pertengahan 2016.Â
Pak Tris sendiri merasa ikut senang bisa melihat dan turut dalam perkembangan "coffee-scene" di Lombok. Dalam berjalannya waktu, ada beberapa customer Maktal Coffee yang terinspirasi dan membuka usaha kopi sendiri, diantaranya Betterbulkoffie, Ngopihib (kopi seduh keliling menggunakan sepeda di sekitar Mataram), Retrokopi (coffeetruck pertama di mataram), atau Kopikitakedai.Â
Apresiasi masyarakat terhadap kehadiran kopi nusantara yang disediakan di beberapa kedai kopi di kota Mataram termasuk di Maktal Coffee cukup baik. Pengenalan terhadap kopi nusantara dan keistimewaan citarasanya mulai berkembang.Â
Dalam obrolan kami, pak Tris juga menekankan pentingnya memberikan istilah yang tepat untuk kedai kopi, gerai kopi atau coffee dan bukan cafe, sebab menurutnya istilah "cafe" di pulau Lombok yang juga disebut pulau "seribu masjid" dikhawatirkan lebih bermakna  "negatif".Â
Setidaknya kata cafe persepsinya jadi tempat nongkrong atau di persepsi menjadi cafe remang remang, kata pak Tris. Menurut beliau lagi, soal istilah itu menjadi penting karena mereka sedang berada pada tahap pengenalan kopi nusantara kepada khalayak yang perlu melihat sisi positifnya, termasuk penghargaan dan peningkatan ekonomi petani kopi lokal, ketimbang sisi negatifnya yang jadi menonjol.
Tidak terasa, saking asiknya ngobrol bersama pak Tris sambil menyeruput kopi Toraja Perindingan yang saya pilih, malam mulai larut, meski Maktal Coffee masih juga ramai dengan pengunjung, saya menyudahi obrolan karena harus kembali ke kamar hotel untuk mempersiapkan bahan pekerjaan keesokan harinya. Karena esok masih akan ada jadwal meeting di Maktal Coffee bersama beberapa rekan, jadi sebelum pamit saya memesan tempat untuk kegiatan esok.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H