Mohon tunggu...
Khudori Husnan
Khudori Husnan Mohon Tunggu... Freelancer - peminat kajian-kajian budaya populer (https://saweria.co/keranitv)

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

The Power of Bincang-Bincang

14 November 2020   16:35 Diperbarui: 14 November 2020   16:56 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski  telah menjadi bagian dari keseharian, berbincang-bincang dengan seseorang ternyata tak selalu gampang. Pasalnya,  saat kita berbincang-bincang  dengan satu atau dua orang, salah salah satu pihak  harus bisa menempatkan diri sebagai  seorang pendengar yang baik.

Tingkat kesulitan berbincang-bincang semakin bertambah, apabila dilakukan di depan kamera seperti tampak dari sejumlah program bincang-bincang di YouTube.

'Content' bincang-bincang di YouTube, tak  dapat  dikatakan semuanya  berhasil, terutama bila dilihat  dari jumlah penonton  dan konsistensi si pemilik channel dalam memposting 'content'  bincang-bincangnya.

Bahkan, ketika 'content'  bincang-bincang  itu melibatkan figur terkenal dan  memiliki jutaan subscriber sebagai pemandu bincang-bincangnya, tetap tak bisa menjamin  sebuah  'content' bincang-bincang akan bisa diterima dan dijadikan tontonan rutin  warganet.

Sepanjang pengamatan pada sejumlah model 'content' bincang-bincang di YouTube, ditambah pembacaan  pada  buku-buku, bincang-bincang dapat dikatakan  berhasil manakala seseorang yang menjadi pemandu acara bincang-bincang, mampu memandu  lawan bicara menemukan dirinya dan membuatnya  seperti  terlahir kembali menjadi pribadi yang berbeda, dengan saat sebelum ia terlibat bincang-bincang.

Pada mulanya  adalah mendengarkan

Untuk menjadi pemandu program bincang-bincang yang bermutu,  seseorang mestilah mengawalinya dengan  menjadi  seorang pendengar yang baik. Seorang pendengar yang baik  mirip dengan  kinerja editor tulisan.

Seorang editor  berpengalaman tak akan menerima dan mengerjakan begitu saja naskah  yang diberikan padanya untuk diedit. Sebelum mengedit naskah, editor  perlu terlebih dulu  mengetahui bagian-bagian dari teks yang perlu  dikurangi, diperluas, diperdalam,  dan tegasnya adalah memusatkan perhatian pada naskah.

Editor tak akan berani mengubah inti dari apa yang dituangkan pengarang lewat tulisannya. Alih-alih, seorang editor hanya akan memberikan penekanan-penekanan pada apa-apa saja yang dimaksudkan oleh pengarang, namun  terasa kabur karena diliputi  keraguan, ketidakpercayaan diri, dan kurangnya fokus  si  pengarang saat menulis naskah.

Editor keren  tak akan berani mengubah pengarang menjadi orang lain. Sebaliknya, editor akan berikhtiar membantu  pengarang untuk menjadi dirinya sendiri.

Medengar pun seperti mengedit tulisan. Saat berbincang-bincang, kita sering dihadapkan pada situasi di mana apa yang dikatakan lawan bicara  tidak  cukup akurat  mencerminkan maksud sebenarnya dari yang ingin dia  utarakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun