Mohon tunggu...
Afni Zulkifli
Afni Zulkifli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis adalah sajadah kata untuk berbicara pada dunia

Jurnalis, Akademisi, Praktisi Komunikasi Publik dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Edukasi Informasi Perubahan Iklim: Diksi Karhutla

1 November 2021   03:04 Diperbarui: 1 November 2021   03:19 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan layar pribadi

Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia harus dijaga oleh segenap elemen anak Bangsa. Kerja untuk kebaikan negeri ini, terutama dalam implementasi perubahan iklim yang sudah menjadi komitmen bersama, tidak semata harus dipikul oleh pemerintah, tapi juga Swasta, Penegak Hukum, LSM, Pers, Mahasiswa, Akademisi dan banyak pihak lainnya.

Tanggungjawab ini tidak hanya dalam bentuk hard alias nyata kerja bukan retorika, tapi juga harus mengambil peran dalam bentuk soft, seperti turut andil mengedukasi publik dengan informasi yang baik, bertanggungjawab, jujur, adil, dan satu vektor untuk menjaga kedaulatan Bangsa Indonesia.

Menjelang COP26 di Glasgow, dimana Indonesia akan membawa misi penting menyampaikan pemenuhan janjinya untuk berkontribusi dalam perubahan iklim dunia, justru terjadi beberapa contoh sirkulasi informasi yang lepas tanpa filter ke ruang publik.

Salah satu contohnya adalah informasi terbitan salah satu media nasional yang mengangkat judul 'Walhi Preteli Klaim Menteri LHK Soal RI Bebas Kebakaran Hutan'. Padahal tidak pernah sekalipun Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan baik langsung maupun tidak langsung, bahwa Indonesia bebas 100% kebakaran hutan dan lahan. Menteri hanya mengatakan bahwa Indonesia berhasil menghindari duet bencana asap karhutla di masa pandemi COVID-19 (2020 dan 2021).

Di sini lah kesalahan diksi terjadi. Di mana antara si pembuat berita dan narasumber berita, ternyata sama-sama tidak memahami perbedaan mendasar antara bencana karhutla dan bencana asap karhutla, padahal ini adalah dua entitas yang sangat jauh berbeda.

Patut dipahami bahwa tidak terjadi bencana asap karhutla, bukan berarti tidak terjadi karhutla. Karhutla masih terjadi, bahkan tertulis di dalam rilis resmi pemerintah jumlah hotspot sepanjang tahun 2019-2020, namun berkat pengendalian yang lebih terstruktur dan sistematis, serta melibatkan banyak pihak, maka titik api karhutla bisa dipadamkan segera sehingga tidak berubah menjadi bencana asap seperti biasanya.

Kesalahan diksi ini kemudian disadari oleh redaksi media dan mereka melakukan koreksi dengan dua langkah bertahap.

Langkah pertama, menaikkan berita dengan judul 'Menteri LHK Klaim RI Bebas Kabut Asap Akibat Kebakaran Besar 2020-2021'. Dalam berita itu, media tersebut dengan sangat jujur menuliskan bahwa mereka ternyata mengutip berita dari sebuah berita dari media berbahasa Inggris.

Namun sayangnya, kutipan itu tidak lengkap dan mengalami misinterpretasi. Yang dimaksud dalam berita berbahasa Inggris tersebut adalah kontribusi Indonesia hampir 0 persen (tepatnya 0,25% pada Juli dan 0,36 % pada Agustus) terhadap global fire emissions sesuai data Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) atau pusat layanan data cuaca dan atmofer Uni Eropa. CAMS merilis rekor tingkat emisi karbon global sepanjang Juli dan Agustus 2021. Mediterania, Siberia, dan Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) disebut sebagai wilayah penyumbang terbesar kebakaran hutan, dan Indonesia tidak termasuk kontributor utama dari rekor emisi karbon yang tinggi pada periode ini.

Jadi bukan 0% tidak ada emisi dari karhutla sebagaimana ditulis oleh media dan ditanggapi oleh LSM, melainkan nol sekian persen kontribusi Indonesia pada global fire emission. Ini jelas lagi-lagi dua entitas berbeda, yang kalau tidak dipahami dan salah diterjemahkan, memang akan jadi salah persepsi saat menyusun informasi. Semakin fatal, ketika salah persepsi itu kemudian disajikan ke ruang publik.

Menyadari terjadi misinterpretasi, maka media pers tersebut kemudian menarik total berita lama (berjudul: Walhi Preteli Klaim Menteri LHK Soal RI Bebas Kebakaran Hutan), lalu mewawancarai ulang narasumber LSM Walhi dan menaikkan berita baru dengan judul 'Walhi: Faktor Alam Lebih Berpengaruh Tekan Kabut Asap Karhutla'.

Sampai pada tahap kedua ini, meski dilalui drama salah diksi dan misinterpretasi, kewajiban media pers untuk informasi publik sudah selesai. Namun sayangnya pernyataan narasumber Walhi pada berita pengganti, justru menggiring diksi baru lagi yang bisa menggiring opini. Ini tentu saja menuntut kejujuran dari si narasumber alias Walhi sendiri.

Walhi mengatakan keberhasilan menghindari bencana asap karhutla hanya karena faktor alam semata. Uniknya, pernyataan ini justru bertolak belakang dengan data BMKG perihal cuaca, bahkan berbeda dengan isi postingan media sosial LSM Greenpeace yang dalam waktu hampir berdekatan memajang judul besar 'Tahun 2020 Menjadi Tahun Terpanas di Benua Asia'.

Nah lho...bukannya kalau tahun terpanas harusnya Indonesia juga membara seperti Amerika (yang hingga 20 Oktober 2021 telah mencapai luas kebakaran lebih dari 2,6 juta Ha), Australia, Kanada, dan banyak negara lainnya? Justru di tahun 2020 Indonesia bisa menurunkan deforestasi ke angka 115 ribu Ha atau terendah dalam dua dekade, dan penurunan karhutla hingga 82 persen sehingga tidak terjadi bencana asap apalagi asap lintas batas seperti biasanya.

Penurunan drastis di masa pandemi COVID-19 (2020-2021), jelas bukan hanya karena faktor alam. Namun karena kerja kolektif, koreksi kebijakan, dan koreksi aksi lapangan yang hampir menyeluruh dilakukan dari pusat hingga ke tingkat tapak.

Semua pihak seperti TNI, Polri, BNPB, BPBD, MPA, Manggala Agni, dan banyak lainnya, sama-sama pegang selang di lapangan. Mereka berjibaku di titik terdepan dengan prinsip pantang pulang sebelum padam; Pemda tidak lagi main-main; Swasta tidak lagi berani nakal bakar-bakar; Pengawasan dan penegakan hukum ditegakkan, tidak menyasar yang kecil tapi juga yang besar-besar; Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dilakukan untuk merekayasa jumlah hari hujan guna membasahi lahan gambut yang rentan, dilakukan bersama TNI AU dan BPPT RI; serta banyak aksi lapangan lainnya.

Dari sisi kebijakan, pemerintah juga terus merestorasi dan perbaikan tata air gambut, dengan penataan regulasi dan melakukan pengendalian serta pemulihan lahan gambut yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.

Selain itu melakukan restorasi dan rehabilitasi hutan, yang sejak 2019 dilakukan secara besar-besaran dengan penanaman kembali 10 kali lipat atau lebih kurang 230.000 ha dengan dukungan APBN, serta mengintensifkan law enforcement dengan mendorong pemegang konsesi IPPKH melakukan rehabilitasi DAS, dan rata-rata mencapai 50.000 Ha per tahun.

Keberpihakan diberikan pemerintah kepada rakyat melalui pengelolaan hutan lestari. Di mana pengendalian hutan tanaman pada sekitar 14 juta ha, antara lain melalui metode reduce impact logging serta pengelolaan perhutanan sosial agroforestry lebih kurang 4,7 juta ha sampai dengan tahun 2021; dengan proyeksi target sampai selesai mencapai 12,7 juta ha. Ini sekaligus menggeser alokasi izin yang tadinya 96% untuk konsesi dan hanya 4% untuk kepentingan rakyat, menjadi ke angka asumsi ideal hingga 31% untuk rakyat petani.

Selain itu juga diambil kebijakan optimasi lahan tidak produktif untuk pembangunan hutan tanaman dan hutan perkebunan, pengendalian pengelolaan lahan berkelanjutan, dan menjaga areal dengan high conservation value forest (HCVF) lk 1,4 juta ha di konsesi perkebunan sawit serta 3,9 juta ha HCVF di areal konsesi kehutanan serta program agroforestry.

Jadi berbagai langkah itulah yang dilakukan pemerintah Indonesia secara konsisten pasca karhutla 2015. Jadi ini bukan sebatas mengandalkan faktor alam semata, karena alam sendiri mungkin sudah muak dengan ulah tingkah kita sebagai manusia yang punya sifat begitu serakah. Jangan pula 'kebaikan alam' disalahartikan, karena jangan-jangan seringnya hujan di 2020 karena faktor doa yang diijabah Allah Swt dan banyaknya operasi rekayasa hujan oleh tim satgas karhutla sebagai bentuk ikhtiar manusia.

Informasi yang bertanggung jawab, jujur, apa adanya dan bukan ada apanya, sangat dibutuhkan datang dari berbagai kalangan. Jika memang pemerintahnya sudah melangkah baik dalam penanganan karhutla, maka patut diapresiasi dan terus dikawal agar kebijakan-kebijakan baik itu dipahami, dimengerti, dan didukung publik, serta diimplementasikan dengan baik hingga ke tingkat tapak.

Namun sebaliknya, bilamana memang ada kerja-kerja atau kebijakan yang dinilai masih tidak sejalan dengan janji manis pemerintah, barulah disitu lontarkan kritik tajam bahkan kalau perlu lakukan aksi protes turun ke jalan. Lawan!

Kita negara demokrasi yang merdeka. Bebas bersuara. Tapi tentu saja  bukan kemerdekaan dan merdeka tanpa batas dengan mengkamuflasekan kerja nyata di lapangan. Terlebih lagi dalam mengawal kebijakan dan isu perubahan iklim, dimana masih banyak 'bahasa langit' yang tidak bisa dipahami oleh 'rakyat bumi'. Di sini lah peran kita semua untuk bisa bantu memberikan informasi sekaligus edukasi dengan baik, jujur dan bertanggung jawab.

Jika kita sudah menyadari pentingnya kejujuran dan adil dalam penyampaian informasi, lalu siap berkolaborasi untuk Negeri yang kita cintai ini, sangat yakin Indonesia pasti benar-benar hebat!*

Salam
TAM LHK; Jurnalis (Mantan Pemred Pekanbaru Pos dan JPNNTV)

Dr.Afni.Z

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun