Mohon tunggu...
Afni Zulkifli
Afni Zulkifli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis adalah sajadah kata untuk berbicara pada dunia

Jurnalis, Akademisi, Praktisi Komunikasi Publik dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Edukasi Informasi Perubahan Iklim: Diksi Karhutla

1 November 2021   03:04 Diperbarui: 1 November 2021   03:19 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan layar pribadi

Menyadari terjadi misinterpretasi, maka media pers tersebut kemudian menarik total berita lama (berjudul: Walhi Preteli Klaim Menteri LHK Soal RI Bebas Kebakaran Hutan), lalu mewawancarai ulang narasumber LSM Walhi dan menaikkan berita baru dengan judul 'Walhi: Faktor Alam Lebih Berpengaruh Tekan Kabut Asap Karhutla'.

Sampai pada tahap kedua ini, meski dilalui drama salah diksi dan misinterpretasi, kewajiban media pers untuk informasi publik sudah selesai. Namun sayangnya pernyataan narasumber Walhi pada berita pengganti, justru menggiring diksi baru lagi yang bisa menggiring opini. Ini tentu saja menuntut kejujuran dari si narasumber alias Walhi sendiri.

Walhi mengatakan keberhasilan menghindari bencana asap karhutla hanya karena faktor alam semata. Uniknya, pernyataan ini justru bertolak belakang dengan data BMKG perihal cuaca, bahkan berbeda dengan isi postingan media sosial LSM Greenpeace yang dalam waktu hampir berdekatan memajang judul besar 'Tahun 2020 Menjadi Tahun Terpanas di Benua Asia'.

Nah lho...bukannya kalau tahun terpanas harusnya Indonesia juga membara seperti Amerika (yang hingga 20 Oktober 2021 telah mencapai luas kebakaran lebih dari 2,6 juta Ha), Australia, Kanada, dan banyak negara lainnya? Justru di tahun 2020 Indonesia bisa menurunkan deforestasi ke angka 115 ribu Ha atau terendah dalam dua dekade, dan penurunan karhutla hingga 82 persen sehingga tidak terjadi bencana asap apalagi asap lintas batas seperti biasanya.

Penurunan drastis di masa pandemi COVID-19 (2020-2021), jelas bukan hanya karena faktor alam. Namun karena kerja kolektif, koreksi kebijakan, dan koreksi aksi lapangan yang hampir menyeluruh dilakukan dari pusat hingga ke tingkat tapak.

Semua pihak seperti TNI, Polri, BNPB, BPBD, MPA, Manggala Agni, dan banyak lainnya, sama-sama pegang selang di lapangan. Mereka berjibaku di titik terdepan dengan prinsip pantang pulang sebelum padam; Pemda tidak lagi main-main; Swasta tidak lagi berani nakal bakar-bakar; Pengawasan dan penegakan hukum ditegakkan, tidak menyasar yang kecil tapi juga yang besar-besar; Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dilakukan untuk merekayasa jumlah hari hujan guna membasahi lahan gambut yang rentan, dilakukan bersama TNI AU dan BPPT RI; serta banyak aksi lapangan lainnya.

Dari sisi kebijakan, pemerintah juga terus merestorasi dan perbaikan tata air gambut, dengan penataan regulasi dan melakukan pengendalian serta pemulihan lahan gambut yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.

Selain itu melakukan restorasi dan rehabilitasi hutan, yang sejak 2019 dilakukan secara besar-besaran dengan penanaman kembali 10 kali lipat atau lebih kurang 230.000 ha dengan dukungan APBN, serta mengintensifkan law enforcement dengan mendorong pemegang konsesi IPPKH melakukan rehabilitasi DAS, dan rata-rata mencapai 50.000 Ha per tahun.

Keberpihakan diberikan pemerintah kepada rakyat melalui pengelolaan hutan lestari. Di mana pengendalian hutan tanaman pada sekitar 14 juta ha, antara lain melalui metode reduce impact logging serta pengelolaan perhutanan sosial agroforestry lebih kurang 4,7 juta ha sampai dengan tahun 2021; dengan proyeksi target sampai selesai mencapai 12,7 juta ha. Ini sekaligus menggeser alokasi izin yang tadinya 96% untuk konsesi dan hanya 4% untuk kepentingan rakyat, menjadi ke angka asumsi ideal hingga 31% untuk rakyat petani.

Selain itu juga diambil kebijakan optimasi lahan tidak produktif untuk pembangunan hutan tanaman dan hutan perkebunan, pengendalian pengelolaan lahan berkelanjutan, dan menjaga areal dengan high conservation value forest (HCVF) lk 1,4 juta ha di konsesi perkebunan sawit serta 3,9 juta ha HCVF di areal konsesi kehutanan serta program agroforestry.

Jadi berbagai langkah itulah yang dilakukan pemerintah Indonesia secara konsisten pasca karhutla 2015. Jadi ini bukan sebatas mengandalkan faktor alam semata, karena alam sendiri mungkin sudah muak dengan ulah tingkah kita sebagai manusia yang punya sifat begitu serakah. Jangan pula 'kebaikan alam' disalahartikan, karena jangan-jangan seringnya hujan di 2020 karena faktor doa yang diijabah Allah Swt dan banyaknya operasi rekayasa hujan oleh tim satgas karhutla sebagai bentuk ikhtiar manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun