Lagu dan syair lagu Sorry Seems To Be A Hardest Word, yang memenuhi jagadraya hari ini, yang dilambungkan Putri Ariani membawa saya nerawang kepada dilemma rumit yang terjadi sekitar RUU Omnibus Kesehatan. Yang tidak ada pihak manapun mengaku sebagai inisiator.
Tiba-tiba muncul dalam daftar kerja Badan Legislasi DPR. Kemudian khabar anginnya mau dikebut diketok jadi Undang-Undang, sekaligus memberangus lebih 10 Undang-Undang yang terkait Kesehatan dan bahkan diluar Kesehatan, seperti Pendidikan dan Hukum.
Semakin heboh ketika muncul DIM yang diplesetkan jadi Daftar Inventaris Menakutkan. Banyak kebaikan dalam system yang sudah berjalan, dihapus. Â Misal, dihapusnya lembaga di bawah Kepresidenan yang dibentuk oleh Undang-Undang yang disepakati dunia diberi nama Konsil, baik untuk Kedokteran maupun Konsil untuk Tenaga Kesehatan lainnya.
Lainnya yang juga dihapus, keberadaan Organisasi Profesi, tidak lagi tunggal dibawah IDI (bagi Dokter), PDGI (bagi Doktergigi), IBI (bagi Bidan), PPNI (bagi Perawat) dan IAI (untuk Apoteker).
OP tunggal ini sudah ada berjalan baik dan harmonis bersama Pemerintah mengisi Proklamasi Kemerdekaan, tugasnya selain membina anggota juga mengawal seluruh sistem etik dan standar praktik kedokteran agar tidak ada dualisme atau multi tafsir.
Ketika terjadi Pandemi Covid-19 sejak awal tahun 2020, mereka bahu-membahu, satu komando "menyelamatkan" warga bangsa yang terinfeksi virus ganas tersebut, sekalipun mereka lebih 2.000 orang wafat sebagai martir. Mereka Pahlawan nyata dan tidak sia-sia.
Konsep RUU, OP boleh dibentuk berdasarkan atensi masing-masing anggota dan memberi nama sesuai dengan keinginan masing-masing, maka yang langsung tercabut dari dalamnya adalah bagaimana mengatur etika praktik profesi, menjaga standar terbaik dan pengambilan keputusan yang adil dan tidak bias jika terjadi sengketa antara sang pelayan dan yang dilayani.
Dalam praktiknya, konflik pelayan dan yang dilayani, selalu ada dalam setiap pelayanan kesehatan. Yang dilayani minta segera sembuh dengan pelayanan yang memuaskan, karena sudah membayar. Padahal Dokter/Dokter Gigi tidak menjamin kesembuhan, tetapi bekerja secara professional memberikan pelayanan terbaik sesuai dengan Kompetensi yang sudah dipelajari dengan standar tunggal oleh Kolegiumnya, diakui dan diregistrasi.
Uji Kompetensi itu sangat perlu karena jauh sebelumnya lulusan banyak yang tidak lolos, artinya tidak melewati standar minimal yang ditetapkan pengampu ilmu yaitu Kolegium.
Perlu Registrasi, agar kompetensi terakui dan terakreditasi sehingga bisa bekerja sampai ke luar negeri. Perlu Praktik tetapi tertib dan jangan terjadi konflik antar profesi, untuk itu perlu Rekomendasi dari Profesi sejenis. Dan Pemerintah (Dinas Kesehatan) memberi Izin Praktiknya.
Hal mengejutkan, ketika Kewajiban Negara untuk menjamin ketersediaan Anggaran Kesehatan sebesar 5% dalam APBN dan 10% dalam APBD, pun dihapus. Â Alasannya agar lebih efisien dan leluasa dalam perencanaan anggaran. Tidak sejalan dengan makna mandatory spending.