Prajurit adalah garda terdepan ketahanan nasional. Sejak menandatangani perjanjian bersedia menjadi prajurit, maka sejak itu seluruh keluarga dan atau bakal pasangan prajurit pun terikat pada perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut bukan sekedar perjanjian biasa. Bukan sekedar kontrak antara pembeli dan penjual. Namun kontrak yang dibuat antara negara dengan para abdi negaranya. Sedangkan bentuknya adalah sumpah setia dan janji akan melindungi setiap jengkal tanah dan rakyat di daerah kedaulatannya.
Ini berarti, apabila suatu saat negara memanggil untuk bertugas, Â maka saat itu pula para prajurit harus segera berangkat dan siap menerima segala resikonya. Yaitu sehat kembali pulang.. Atau pergi tanpa pernah kembali. Ini memang bukan hal yang mudah. Tapi itulah kontrak prajurit yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.Â
Menjadi keluarga prajurit (baik istri atau suami prajurit) ibarat mempersiapkan diri untuk menghadapi suatu siklus rumah tangga yang penuh dinamika yang memerlukan keteguhan, ketegaran, keikhlasan dan ketabahan. Termasuk transformasikan kondisi tersebut menjadi power atau kekuatan dalam rumah tangga. Dan bukan menjadikannya sebagai  penghalang membangun komunikasi dan relasi positif dalam kehidupan berkeluarga.
Ketahanan Nasional berbasis prajurit tentunya sangat membutuhkan support dari dua lini utama: keluarga prajurit dan lingkungan keluarga prajurit. Apalagi disadari bersama  bahwa alutsista bangsa Indonesia  memiliki banyak keterbatasan. Sehingga mempersiapkan kondisi mental prajurit dan keluarganya merupakan keharusan.Â
Selain itu, kondisi psikologis prajurit di medan tugas sangat menentukan strategi dan efektifitas penjagaan ketahanan dan kedaulatan negeri ini. Oleh karena itu maka ketahanan keluarga prajurit adalah kekuatan besar dan utama untuk menjadi benteng ketahanan nasional bangsa Indonesia. Â
Ada dua hal penting yang menjadi pegangan dalam membangun ketahanan keluarga prajurit. Berdasarkan teori pemikiran Alfred Schutz (Murdok 1949, dikutip Dloyana, 1995) yang menyatakan bahwa keluarga adalah subsistem dari makhluk sosial yang memiliki kesadaran sosial.  Maka kesadaran sosial pada keluarga prajurit ini  dibangun oleh proses yang dinamakan Tipikasi. Yaitu menggabungkan model model ideal dari keluarga terutama kesamaan pencapaian tujuan. Kesamaan tujuan ini ditentukan oleh karakter, pola tindakan dan kepribadian sosial.Â
Menurut Schutz yang diperkuat Weber dan Hussselr, point yang pertama adalah Strike To The Ground Rule (STTGR). Maksudnya, keluarga prajurit harus mengikuti aturan dan prosedur yang berlaku. Tanpa ada tawar menawar. Memang hal ini yang membedakan dengan keluarga diluar institusi prajurit.Â
Keluarga prajurit harus mengikuti aturan dasar yang diterapkan sesuai regulasi yang berlaku dilingkungan TNI. Semisal calon istri prajurit akan menikah, maka selain harus melalui serangkaian test kesehatan, mereka juga harus mengikuti pengarahan tentang adab dan etika sebagai seorang istri prajurit.Â
Ketaatan, keteraturan, kesiapan untuk menerima resiko sebagai istri prajurit, sudah disampaikan sebelum yang bersangkutan masuk ke jenjang pernikahan. Termasuk pembatasan tindakan, perilaku dan kegiatan dalam kehidupan keseharian.Â
Misalnya istri prajurit tidak dapat dengan mudah bepergian keluar negeri atau mengikuti partai politik tertentu, tanpa sepengetahuan dan seijin atasan atau pimpinan. Tujuannya tiada lain adalah untuk mengendalikan dan menyamakan gerak langkah prajurit dan keluarga prajurit sehingga dapat menghasilkan ketangguhan dan ketahanan dalam berumah tangga.Â
Point yang kedua adalah Trust Each Other (TEO). Saling mempercayai antara satu sama lain di dalam keluarga prajurit tersebut. Hal ini menjadi penting karena prajurit sering bertugas mendadak dan dalam waktu yang lama. Long Distance Relationship (LDR) menjadi suatu resiko yang harus diterima bagi istri atau suami prajurit.Â