Suatu hari, saya menerima seorang pasien laki-laki berusia sekitar awal 30-an di ruang praktek saya. Ia mengeluh perasaannya yang tidak bahagia selama bertahun-tahun. Ia tidak menunjukan tanda-tanda depresi yang cukup nyata, masih dapat bekerja dan bersosialisasi, meskipun kadang mengalami gangguan makan, kadang insomnia atau tidur berlebih-lebihan (hipersomnia).Â
Pekerjaannya sendiri tergolong sukses meskipun ia mengakui ia sering merasa cepat lelah dan akhir-akhir ini bertambah parah. Di usia muda, ia sudah menduduki jabatan yang cukup tinggi di perusahaan tempatnya bekerja.Â
Ia berkonsultasi pada saya, ia mengatakan bahwa harusnya ia merasa bahagia dengan kondisinya namun mengapa ia merasa ada yang salah dengan dirinya. Ia meminta saya untuk memberikan solusi atas perasaan tidak bahagia yang ia rasakan dan berharap bagaimana untuk dapat kembali bahagia dengan hidupnya.
Sebagai seorang dokter, saya memulai sesi terapi saya dengan mulai mencari diagnosis pada dirinya. Selain itu tentu saya harus menyingkirkan berbagai diagnosis banding yang mungkin pada keluhan utama pasien yaitu "merasa tidak bahagia".Â
Karena perasaan tidak bahagia biasanya bertautan erat dengan perasaan sedih maka yang saya lakukan pertama kali adalah mencari gejala-gejala depresi yang nyata pada pasien ini, mulai dari mood pasien, hingga fungsi vegetatif pasien seperti gangguan makan, tidur, dan bagaimana kondisi sosial dan pekerjaannya, apakah ada yang terganggu.Â
Namun seperti yang saya posting di atas, ternyata pada pasien tidak ditemukan gejala-gejala depresi yang menonjol dan ia tetap dapat berfungsi cukup baik dalam lingkungan dan pekerjaannya. Kemudian saya mulai mencari apakah mungkin ada penyakit medis umum yang mungkin ia alami seperti gangguan fungsi tiroid (kelenjar gondok), diabetes melitus (sakit gula) menahun, dsb yang mungkin menimbulkan gejala depresi ringan dan juga riwayat penggunaan alkohol dan napza lainnya.Â
Dan pada pasien ini tidak ada satupun riwayat gangguan medis dan penggunaan zat. Dan pada akhirnya saya mencari tanda-tanda kecemasan kronik pada pasien, namun hal ini pun tidak ditemukan. Akhirnya saya menegakan diagnosis distimia pada pasien ini.
Distimia, apakah itu?
Distimia sebenarnya merupakan bagian dari cluster gangguan depresi namun derajatnya tidak berat. Satu-satunya gejala menonjol yang terlihat adalah mood yang cenderung murung, tidak bahagia yang menetap hampir setiap hari selama sekurangnya dua tahun.Â
Gejala lainnya dalam cluster gejala depresi tidak terlihat menonjol, namun sekurang distimia juga dapat disertai dengan gangguan nafsu makan (naik atau turun), gangguan pola tidur (insomnia atau hipersomnia), energi yang berkurang, rasa cepat lelah mudah lesu, kurang percaya diri, sukar konsentrasi, dan sering merasa mudah putus asa.
Sifat gangguan ini kronis, menahun, dan masa bebas gejala tidak pernah sampai dengan dua bulan lamanya. Pada saat-saat tertentu sepanjang masa berlangsungnya distimia, orang yang menderita gangguan ini pun dapat mengalami gangguan depresi mayor.Â
Anda dapat membacanya di sini. Bila mana timbul depresi mayor bersamaan dengan distimia, maka kondisi ini dikenal dengan istilah depresi ganda (double depression). Kebanyakan penderita distimia biasanya mengatakan mereka sudah merasa tidak bahagia sejak bertahun-tahun lampau, bahkan mereka sudah lupa kapan tepatnya kondisi ini dimulai.
Fakta-fakta penting soal distimia
Sekitar 6% orang di seluruh dunia berisiko mengalami gangguan ini di sepanjang hidupnya, sementara dari angka riil diketahui sekitar 5% orang di seluruh dunia menderita gangguan ini.Â
Di Amerika serikat dari data IMH mereka, 1,5% penduduknya menderita gangguan ini. Website resmi WHO, badan kesehatan dunia menyebutkan bahwa hingga bulan Oktober 2012 terdapat 350 juta orang di seluruh dunia yang menderita depresi dalam derajat ringan hingga berat. Distimia pun termasuk di dalamnya.Â
Hingga saat ini belum dapat disimpulkan apakah distimia terkait dengan faktor ras namun sudah diketahui bahwa distimia terkait dengan jenis gender di mana penderita wanita dua kali lipat dibandingkan pria dan umumnya penderita pria memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan wanita.Â
Biasanya gangguan ini sudah mulai muncul sejak masa kanak, pasien umumnya akan bercerita bahwa sejak ia masih kecil atau sejak masa remaja, ia tidak pernah merasa bahagia. Hal yang cukup baik adalah, gangguan ini tidak pernah terjadi pada penderita gangguan bipolar dan gangguan psikotik.
Dampak distimia
Mengapa distimia harus dikenali dan diterapi dengan benar? Yang paling penting adalah karena seorang penderita distimia sangat rentan untuk jatuh dalam kondisi depresi mayor. Akibat lanjutannya adalah tingkat kemungkinan bunuh diri sangat meningkat. Menurut data WHO yang diambil sejak tahun 1950 hingga tahun 2000, tingkat kecenderungan bunuh diri cenderung menunjukan tren meningkat.Â
Meskipun dalam keseharian seorang penderita distimia biasanya "tidak menunjukan" gangguan yang nyata namun produktivitas seorang penderita distimia tidaklah sebaik seseorang dengan kondisi mood yang normal.Â
Selain itu distimia yang ditandai dengan perasaan tidak bahagia ini, akan dipersepsikan sebagai stresor kronik di otak dan dampak jangka panjangnya sering meningkatkan risiko dan menimbulkan problema penyakit fisik serius seperti misalnya sakit jantung di kemudian hari. Anda dapat membaca artikel mengenai relasi antara stres dengan penyakit medis umum di sini.
Apakah penyebabnya?
Hingga saat ini belum jelas bagaimanakah distimia muncul. Namun yang jelas, seperti depresi, distimia mempengaruhi kadar neurotransmiter di otak. Secara biologi, terlihat bahwa orang dengan distimia menunjukan abnormalitas yang mirip dengan penderita depresi mayor bila dilakukan pemeriksaan EEG.Â
Stres fisik dan psikis menahun dapat menyebabkan distimia di masa depan. Secara genetik, distimia lebih sering dijumpai pada seseorang dengan keluarga yang mengidap gangguan depresi mayor dan sekitar 10% penderita distimia diketahui jatuh pada kondisi depresi mayor pada suatu saat dalam perjalanan distimianya. Secara psikososial, kondisi ini sering ditemukan pada orang-orang yang mengalami isolasi sosial.
Terapi dan pengobatan
Distimia adalah kondisi yang dapat diterapi. Hingga saat ini metode utama adalah psikoterapi dan pemberian obat anti depresan. Umumnya psikoterapi utama yang dilakukan adalah berupa CBT (Cognitive Behavior Therapy) yang berfokus dalam mengubah mindset.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat.
Tulisan asli dapat diakses di blog pribadi saya yang dapat Anda baca di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H