Mohon tunggu...
Pandapotan Silalahi
Pandapotan Silalahi Mohon Tunggu... Editor - Peminat masalah-masalah sosial, politik dan perkotaan. Anak dari Maringan Silalahi (alm) mantan koresponden Harian Ekonomi NERACA di Pematangsiantar-Simalungun (Sumut).

melihat situasi dan menuliskan situasi itu

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Intimidasi Wartawan, Apalah Fungsi Lembaga dan Organisasi Pers?

27 Juni 2021   22:14 Diperbarui: 29 Juni 2021   10:15 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PRIHATIN! Banyak kasus yang menimpa wartawan kita. Dalam 2 pekan terakhir, seolah menyentak pikiran kita. Adalah Mara Salem Harahap alias Marsal Harahap Pemred (Pemimpin Redaksi) Lasser News Today yang ditembak mati di Siantar (Sumatera Utara). 

Begitupun Jeffry As Rumampuk, Pemimpin Redaksi (Pemred) Media Online di Gorontalo-Sulawesi yang terkapar dibacok, terakhir Syahzara Sopian alias Sopian yang diancam bunuh oleh kelompok Sinulingga Cs di Binjai.

Sekadar menggambarkan ulang. Mara Salem Harahap alias Marsal Harahap Pemred Lasser News Today ini, sudahlah jadi korban (ditembak mati), dia malah dituduh oleh otak pelaku pembunuhan (setelah ditangkap polisi) sebagai sosok wartawan pemeras.

Duh, apa iya? Tuduhan yang dialamatkan kepadanya sebagaimana santer diberitakan media online, meminta jatah Rp12 juta per bulan. Otak pelaku yang juga pengusaha hotel dan dunia hiburan malam itu mengaku si korban selain minta jatah duit bulanan, minta 2 butir pil ekstasy seharga @Rp250 ribu per butir dengan kalkulasi Rp500 ribu per malam.

Yang bikin jengkel si otak pelaku, istilah sudah '86' pun tetapi berita tetap tayang. Hingga keluarlah kalimat ''cocok dibedil  nih orang,'' (Marsal Harahap).

Pun begitu dengan Jefri Rumampuk. Pria ini terkapar dibacok seseorang. Meski pelakunya sudah ditangkap dan motifnya masih didalami polisi, namun kuat dugaan, kasus pembacokan yang menimpa Pemred butota.id ini erat kaitannya dengan masalah pemberitaan.

Terakhir Syahzara Sopian alias Sofian, salah satu wartawan Binjai yang bekerja untuk media cetak terbitan Medan (Sumatera Utara). 4 orang pria ditangkap polisi setelah gagal membunuh. Beruntung polisi bergerak cepat hingga para pelaku batal mengeksekusi wartawan ini. Teranyar, motif percobaan pembunuhan dimaksud erat kaitannya dengan aktivitas pemberitaan media itu yang getol menyiarkan masalah perjudian yang dinilai tumbuh subur di wilayah liputannya.

Kalau mau jujur, masih banyak persoalan wartawan yang jadi korban intimidasi. Mulai dari kasus tabrak lari, hingga rumah wartawan dibakar OTK (orang tak dikenal).

Mirisnya nasib wartawan yang menimpa mereka,  seolah tak ada yang mau bertanggungjawab. Padahal Undang-undang Pokok Pers, sudah jelas ada, dan jadi payung hukum. Para bandar, cukong, bandit alias mafia seolah seenak perutnya berbuat kriminal.

Polisi? Hmmm, sebagaimana kita tahu, tunggu ada laporan dulu. Itupun kalau ditindaklanjuti. Mungkin secara kebetulan saja, marak aksi demo di sana sini, hingga kasus pembunuhan Mara Salem Harahap cepat tuntas.

Lantas Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang selama ini selalu bangga menjadi 'saudara kandung' Dewan Pers,  Cuma bisa 'menyusu' ke APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) dengan modus membuat dan membiayai kegiatan bernama UKW (Uji Kompetensi Wartawan) itukah? Atau kalau ada anggota (personil) meninggal dunia, cuma bisa menyalurkan 'uang duka'?

Wartawan juga manusia. Ya, mungkin semua pihak sepaham. Punya kebiasaan khilaf . Tapi ada alasan tertentu mengapa oknum wartawan jadi 'lasak' di lapangan. Yang jelas, semua itu terkait tuntutan hidup. Tingkat kesejahteraan para kuli tinta di Indonesia ini masih jauh dari harapan. Kalau ditanya ke pemilik (pengusaha) media, jawabannya pun seenak perutnya. ''Bisa eksis terbit saja pun, sudah syukur.'' Duh!

Memang, tak banyak yang seperti Kompas (gramedia grup/level media cetak) dan detik.com (level media online)  yang sekelas kontributor di pelosok daerah pun diberi honor dengan nominal yang memadai.

Banyak wartawan di Indonesia yang terbiasa 'berdikari' alias mencari sendiri. Katakanlah sekadar menunggu relis dari pemerintah atau perusahaan, atau mencari celah untuk menabuh genderang perang terhadap mafia, cukong dan bandar. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Ini yang fatal!

 Karena biasanya bandit, jarang untuk berpikir panjang. Mereka suka berbuat nekat, apalagi kalau sudah terusik dan terdesak.

Tidak ada niat untuk menggurui dua lembaga bergengsi di atas. Tapi, harapannya Dewan Pers dan PWI mampu mencetak orang-orang yang siap pakai dan profesional. By the way, ada nggak wartawan yang tahan lapar? Semoga!
Tjimahi, 27.06.2021

Penulis, penikmat masalah sosial dan perkotaan. Kini tinggal di Cimahi, Bandung-Jawa Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun