Penulis sebenarnya agak enggan untuk menulis tentang difteri karena sudah banyak disampaikan diberbagai media cetak, elektronik dan media sosial. Selain itu, penulis tadinya menunggu sejawat dokter anak dan THT untuk lebih dulu menulis. Tetapi karena adanya KLB (Kejadian Luar Biasa) difteri 2017 yang sudah melanda 28 provinsi di Indonesia (TERTINGGI DI DUNIA, menurut Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)), serta adanya orang dewasa yang terjangkit difteri, bahkan ada penderita usia 45 tahun yang meninggal, padahal sudah mendapat vaksinasi dasar DPT secara lengkap, membuat penulis bertanya-tanya, serta memberi usulan kepada Kementrian Kesehatan RI, yaitu:
MENGAPA BANYAK ORANG DEWASA YANG SUDAH DIIMUNISASI DIFTERI MASIH TERJANGKIT PENYAKIT INI?
Sebelum mencoba menjawab pertanyaan itu, mari kita bahas dulu tentang difteri.
Difteri adalah infeksi akut (terjadi secara cepat) oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, yang menyebabkan kelainan serius pada selaput lendir (mukosa) hidung dan tenggorokan kita.
Ciri khas penyakit ini adalah terbentuknya lapisan tebal abu-abu (pseudomembrane) yang menutupi bagian belakang tenggorokan Anda, di daerah tonsil (amandel) dan nasofaring (daerah antara tenggorokan dan rongga hidung belakang). Lapisan tebal ini dapat menutup jalan napas Anda, menyebabkan hambatan aliran udara pernapasan, sehingga terjadi sesak nafas bahkan kematian akibat kekurangan oksigen.
Masa inkubasi (masa antara masuknya kuman penyakit sampai timbul gejala) ialah 2-5 hari (kisaran: 1-10 hari). Difteri dapat melibatkan hampir semua selaput lendir saluran nafas atas, TIDAK MENGENAI SALURAN NAFAS BAWAH (PARU-PARU).
Ada tiga biotipe Corynebacterium diphteriae, yakni mitis, intermedius, dan gravis. Setiap biotipe berbeda tingkat keparahan penyakitnya, biotipe gravis adalah yang paling merusak. Kuman ini memiliki efek lokal merusak jaringan dan membentuk pseudomembran serta efek jauh karena menghasilkan eksotoksin, sejenis racun yang menyebar jauh dari tempat perkembangbiakannya di saluran napas, sampai ke jantung, ginjal dan saraf. Biotipe yang tak menghasilkan eksotoksin, yaitu mitis, menyebabkan difteri kulit.
Tanda dan gejala difteri
- Pada tahap awal, penyakit ini sering seperti flu biasa. Lalu timbul nyeri tenggorokan ringan yang semakin parah. Terjadi sakit kepala, demam panas-dingin, menggigil.
- Pembengkakan kelenjar di leher depan dan samping (seperti "leher banteng")
- Batuk keras dan "kungkung" (seperti "menggonggong") yang lama
- Sakit tenggorokan, suara serak
- Kesulitan bernapas, nafas tidak bisa penuh, atau bernapas cepat
- Cairan ingus berlendir kental bahkan sampai bernanah dan berdarah
- Banyak meneteskan air liur
- Perasaan lesu dan tidak bertenaga.
- Suara yang tidak jelas atau hilang
- Pandangan kabur
- Kulit ujung jari tangan kebiruan (karena kekurangan oksigen)
- Tanda syok: kulit pucat, dingin, berkeringat, detak jantung cepat, jika sakit berlanjut.Â
- Difteri kulit menyebabkan bisul dan kemerahan yang pada awalnya nyeri dan menjadi koreng yang sulit sembuh. Koreng ini ditutupi oleh lapisan (membran) cokelat abu-abu.
- Lapisan putih keabu-abuan yang tebal pada amandel dan nasofarings, kadang-kadang pada pangkal lidah adalah ciri khas penyakit ini
Pada difteri bisa terdapat PEMBAWA PENYAKIT TANPA GEJALA, yang menularkan hingga 4-6 minggu setelah masuknya kuman ke tubuhnya (meskipun ia tidak diberi terapi). Pembawa penyakit tanpa gejala inilah yang membahayakan, karena bisa menularkan, tanpa dicurigai orang.
Penularan difteri
- Percikan lendir dari saluran nafas, saat orang yang terinfeksi bersin atau batuk lalu terhirup oleh orang di dekatnya. Terutama pada kerumunan orang atau di daerah padat penduduk.
- Barang pribadi yang terkontaminasi. Dari benda-benda yang dipakai orang terinfeksi, dari alat makan yang tercemar atau melakukan kontak dengan barang-barang lainnya.
- Barang rumah tangga terkontaminasi Meski jarang terjadi, difteri dapat menyebar pada barang-barang rumah tangga yang dipakai bersama, seperti gayung atau mainan.
- Menyentuh luka akibat infeksi difteri.
- Dari orang yang menjadi carrier difteri, yang tidak jelas gejalanya.
Faktor risiko difteri (Faktor yang memudahkan terjadinya Difteri)
- Orang yang tidak mendapat imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) atau imunisasinya tidak lengkap (tidak mendapat suntikan penguat / Booster)
- Orang yang hidup dalam lingkungan padat, kumuh, dan tidak sehat
- Berpergian ke daerah endemik difteri atau negara-negara tanpa program vaksinasi
- Orang dengan gangguan sistem kekebalan tubuh, seperti Diabetes, orang dengan kemoterapi kanker, mendapat terapi dengan obat kortikosteroid, penderita HIV-AIDS
- Anak di bawah usia 5 tahun dan orang dewasa di atas 50 tahun
- Tenaga-tenaga kesehatan dan orang-orang di sekitar penderita difteri
Diagnosis difteri
Perlu dilakukan isolasi bakteri dari cairan dan usapan hidung dan tenggorokan orang yang dicurigai memiliki difteri, yang dibiakkan (kultur) pada media mikrobiologi tertentu. Siapapun yang telah kontak dekat dengan orang tersebut juga harus dikultur. Biasanya dilakukan di RSUD atau RSUP.Â
Jika infeksi difteri telah dikonfirmasi, maka Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI harus diberitahu. Ekstoksin difteri hanya dapat dideteksi dengan tes di laboratorium khusus tertentu, misalnya di Lembaga Eijkman, di kompleks RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.Â
Jika gejala dan tanda difteri telah jelas, terutama terlihat adanya pseudomembran tenggorok, maka terapi dapat segera dilakukan, tanpa menunggu hasil kultur isolasi kuman.Â
Pemeriksaan penunjang lainnya, seperti rekam arus listrik jantung (EKG), Pemindaian (CT-Scan) leher, rekam listrik otot (EMG), pemeriksaan fungsi ginjal dan biopsi kulit dilakukan jika ditemukan tanda kelainan.
- Terapi penunjang: Pemberian oksigen, bantuan pernafasan, jika perlu dilakukan pembuatan saluran nafas dengan melubangi pipa nafas dan menggunakan mesin bantu pernafasan (ventilator) di unit gawat darurat dan unit perawatan intensif (ICU)
- Penderita dirawat di kamar isolasi, para petugas kesehatan dan keluarga yang menjenguk harus memakai baju, tutup kepala, masker dan sarung tangan steril.
- Serum Anti Difteri (ADS) jika terbukti ada gangguan pada organ lain, misalnya jantung, karena eksotoksin. Serum ADS ini SULIT DIDAPATKAN DI INDONESIA
- Antibiotika golongan penisilin injeksi atau jika penderita dapar menelan penisilin bentuk tablet. Jika penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan Eritromisin. Setelah 48 jam pemberian antibiotika biasanya penyakit sudah tidak merusak lebih jauh lagi, meskipun obat terus diberikan sampai 14 hari.
Difteri dinyatakan sembuh secara pasti apabila biakan kuman dari jaringan yang terinfeksi menjadi negatif sebanyak 2 kali berturut-turut.
Kasus yang patut dicurigai sebagai difteri saat tejadi KLB
- Demam disertai sakit tenggorokan parah, sulit menelan dan leher membengkak
- Demam sengan suara serak dan sulit bernafas, disertai nyeri dada
- Demam disertai kelemahan atau mati rasa (baal) yang berat
- Demam pada seseorang yang terpapar pada penderita yang diketahui/diduga difteri
- Demam pada individu dengan sistem kekebalan tubuh yang terganggu.Â
Komplikasi difteri
Radang otot jantung (miokarditis), gangguan irama jantung, kelemahan otot, gangguan saraf: mati rasa dan kelumpuhan, gangguan penglihatan, gangguan ginjal. Yang paling berbahaya tentunya sumbatan saluran nafas yang cepat menimbulkan kematian.
Pencegahan difteri
Vaksin toksoid difteri, yang dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan pertusis, direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk diberikan kepada bayi, remaja, dan orang dewasa, guna membentuk zat anti (antibodi).
Imunisasi untuk bayi dan anak, menurut Program Kementerian Kesehatan RI terdiri dari 4 (empat) kali vaksinasi DPT (Diptheri, Tetanus, Pertussis) yang umumnya diberikan pada usia: 2 bulan,3 bulan, dan 4 bulan, dengan vaksinasi ke 4 (empat) diberikan pada usia18 bulan. Vaksinasi ke 5 (lima) ialah DT (Difteri-Tetanus), bukan DPT,pada usia 7-8 tahun. Kekebalan terhadap difteri berkurang setelah 8-10 tahun, oleh karena itu diperlukan suntikanpenguat (booster).
Bentuk booster yang digunakan di Indonesia, yaitu vaksin Td (Tetanus difteri) yang merupakan vaksinasi ke 6 (enam), yang direkomendasikan untuk anak berusia 7-8 tahun. Pada kelompok umur 11-12 tahun, diberikan lagi vaksin Td (vaksinasi ke 7). Dalam waktu 10 tahun setelah vaksinasi ke 7, sebaiknya diberikan vaksinasi ke 8 (delapan).
Jadi minimal dilakukan 7 (tujuh) kali vaksinasi: Empat kali DPT, satu kali DT, yang ditambah 2 kali lagi (vaksin ke 6 dan 7) berupa Td.
Nah...bandingkan juga dengan Jadwal Imunisasi menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PAPDI)
Oh iya, apa bedanya Vaksin DT dan Td?Â
Perbedaan komposisi dosis!
Kandungan dalam Vaksin Difteri Tetanus (DT) memiliki toksoid Difteri yang lebih tinggi yaitu 20 Lf dan kandungan toxoid tetanus murni 7,5 Lf. Sedangkan Vaksin Td memiliki kandungan toksoid difteri dengan dosis lebih rendah sepersepuluh dari vaksin DT yaitu difteri 2 Lf, sedangkan kandungan toksoid tetanus berjumlah sama 7,5 lf, dengan ukuran tiap dosisnya sama 0,5 ml.
YANG DIPAKAI DI INDONESIA SAAT INI UNTUK ANAK USIA SD ialah Td, yang notabene lebih kecil dosis toksoid difterinya!
APAKAH INI PENYEBAB HEBATNYA KLB DIFTERI DI INDONESIA?!
Vaksinasi pada usia 65 tahun keatas juga dapat dilakukan, meskipun efektivitasnya diragukan, karena kemampuan tubuh untuk membentuk antibodi terhadap difteri sudah sangat berkurang, disebabkan usia.
Di daerah yang endemis (banyak kasus difteri) atau sedang terjadi KLB seperti di Indonesia saat ini, dapat diberikan vaksinasi booster, tanpa melihat riwayat vaksinasi sebelumnya. Untuk orang yang kontak dekat, terutama kontak di rumah tangga, vaksin DT booster sesuai usia, harus diberikan.Â
Orang yang kontak dekat juga harus meminum antibiotik eritromisin selama 7 - 10 hari. Vaksin DPT dianjurkan pada wanita hamil, di setiap kehamilannya, terutama pada usia kehamilan 27 sampai 36 minggu.
Ringkasan dan penutup.
- Indonesia saat ini mengalami KLB difteri yang sangat hebat, yang telah membawa korban jiwa, bukan hanya pada anak-anak, tetapi juga pada orang dewasa. Angka kematian akibat difteri berkisar 3 sampai 10 % dari seluruh kasus.
- Seharusnya timbul pertanyaan dari Kementerian Kesehatan serta para peneliti Indonesia: MENGAPA HAL INI BISA TERJADI?
- Ada 3 kemungkinan penyebabnya, yaitu:
a. Adanya perubahan sifat kuman Corynebacterium Diphteriae yang semakin ganas, karena adanya mutasi genetik (antigenic drift dan antigenic shift), diantaranya akibat pemakaian antibiotika yang tidak rasional dan tidak tuntasnya pemakaian antibiotika pada suatu penyakit.b. Perubahan pada: i) faktor demografis: lingkungan yang semakin padat dan tidak sehat; ii) faktor manusia: kurangnya pendidikan, peran serta masyarakat; iii) kurangnya penyuluhan dan program vaksinasi dari Kementerian Kesehatan RI
c. Berdasarkan pengamatan penulis, banyak pasien penderita difteri berusia dewasa, yang telah mendapat vaksinasi dasar difteri lengkap (DPT) 4 kali pada masa bayinya. Tetapi banyak yang kurang yang mendapat vaksinasi DT, vaksinasi kelima (usia 6-7 tahun), serta jarang yang mendapat vaksinasi keenam (booster) Td pada usia 7-8 tahun (kelas 2 SD), apalagi untuk vaksinasi ke 7, dan ke 8.
Di sini penulis mengusulkan pada KEMENKES untuk:
- Menambah jumlah vaksinasi untuk difteri sebanyak sampai 7 bahkan 8 kali. Karena rekomendasi vaksinasi di zaman old memang kurang dibanding zaman now, dan kemungkinan terjadinya mutasi genetik bakteri C. Diptheriae, yang menjadikan kuman ini menjadi lebih ganas.
- Tidak lagi memakai vaksin Td, tetapi menggunakan DT, yang dosis toksoid difterinya lebih tinggi dan lebih melindungi terhadap difteri, pada vaksinasi ke-6 dan 7
Vaksinasi setelah orang berusia dewasa, juga belum dianjurkan pemerintah, kecuali saat KLB. Vaksinasi untuk wanita hamil pun belum dimasyarakatkan (pada wanita hamil, yang dilakukan ialah vaksinasi TT atau toksoid Tetanus). Vaksinasi DT untuk tenaga kesehatan belum direkomendasikan sampai saat ini, padahal negara-negara lain telah merekomendasikannya.
Catatan:
- Vaksin DPT yang digunakan di Indonesia ialah Vaksin DPT-HB-HIB (HB: Hepatitis B; HIB: Haemopilus Influenza tipe B)
- Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sudah merekomendasikan Imunisasi DT sampai usia 18 tahun sejak 2014, demikian juga Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), sejak tahun 2013.
- Mungkin penyebab KLB difteri adalah gabungan ketiga faktor yang tertulis di atas, tetapi penulis lebih cenderung ke arah faktor ke 3, yaitu Masalah JUMLAH VAKSINASI YANG KURANG LENGKAP dan pemakaian VAKSIN Td yang KURANG KUAT.
- Saran saya untuk Kementerian Kesehatan RI sebagai otoritas tertinggi dan penanggungjawab program kesehatan pemerintah agar memenuhi program vaksinasi tersebut, khususnya vaksinasi ke enam; gunakan vaksinasi DT, jangan Td: di usia 7-8 tahun dan vaksinasi ke 7 (usia 11-12 tahun), juga dengan DT.
- Pertanyaan saya pada Kementerian Kesehatan RI: Jika vaksinasi keenam dan ketujuh tersebut sudah dilakukan di usia SD (7 sampai 12 tahun), berapa angka cakupan imunisasi DT di tingkat nasional? BELUM ADA LAPORANNYA!
- Mungkin ada masalah KURANGNYA DANA untuk vaksinasi tersebut karena terbatasnya anggaran pemerintah. Oleh karena itu kami memohon pemerintah pusat untuk lebih banyak mengalokasikan dana untuk vaksinasi, baik DPT/DT, maupun vaksin-vaksin lainnya, di tahun anggaran 2018-2019 yang akan datang, dan seterusnya.
- Aspek promotif berupa penyuluhan oleh pemerintah dengan menggunakan media elektronik (TV, radio), internet, dan media sosial, serta oleh penyuluh puskesmas harus digalakkan kembali. Peran serta masyarakat melalui Posyandu dan Kader Puskesmas harus semakin ditingkatkan.Â
- Mohon dipertimbangkan untuk mengadakan PEKAN IMUNISASI NASIONAL (PIN) kembali, yang juga harus mencakup vaksinasi DT terhadap tenaga kesehatan dan ibu hamil.
- Tulisan ini TIDAK BERMAKSUD MEMBUAT KEPANIKAN, tetapi mengajak kita semua WASPADA dan segera melakukan vaksinasi, baik anak-anak maupun yang dewasa.Â
Kita perlu mengamati dan melaporkan ke Puskesmas terdekat, kalau-kalau ada orang di lingkungan kita, yang dicurigai dengan gejala difteri. Kita semua berdoa dan berusaha melawan KLB penyakit ini. Semoga Tuhan melindungi kita yang sehat dan menyembuhkan yang sakit. Amin.
Ini tulisan untuk Kompasiana atau Kuliah ya?!
Daftar bacaan
- Putra LM, Kompas.com, 07/12/2017. Kemenkes: Difteri Tahun Ini Luar Biasa, (daring):, 17 Desember 2017.
- Doerr S, Davis C.P, 12/23/2015. Emedicinehealth: Diphteria, (daring):, 17 Desember 2017.
- Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), 2017. JADWAL IMUNISASI 2017, (daring):, 18 Desember 2017.
- Dinas Kesehatan Kota Malang, 5/12/2017. Siaran Pers Imunisasi Efektif Cegah Difteri, (daring):, 19 Desember 2017
- Nugraha IK, detik.com, 18 Desember 2017, 17.59 WIB. IDAI: KLB Difteri di Indonesia Paling Tinggi di Dunia, (daring):, 19 Desember 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H