Ya, Kluivert memang pernah mempunyai reputasi melatih timnas Curacao dan kisahnya tak begitu sukses. Lebih jauh, mantan pemain AC Milan dan Barcelona itu berasal dari iklim sepak bola yang berbeda jauh dengan Indonesia.
Perbedaan itu dimulai dari sistem pembinaan para pemain, iklim turnamen di dalam negeri, hingga mentalitas suporter dan pemain.
Pembinaan pemain sangatlah riskan dalam kultur sebuah tim sepakbola. Proses pembinaan itu menjadi penting lantaran itu bisa menjadi suplai dan pemasuk untuk Timnas ketika dibutuhkan. Namun, ketika proses pembinaan pemain tak menjawabi tuntutan itu, bisa jadi muncul kekecewaan tertentu.
Di sini, Kluivert perlu menyadari situasi tersebut. Boleh saja dia diwarisi dengan skuad pemain naturalisasi yang terbentuk dengan iklim dari luar negeri, namun hal itu tak berlaku untuk semua.
Keseimbangan tim belum teruji dengan baik. Di sini, perlu juga para pemain lokal yang bisa mengimbangi proses naturalisasi tersebut.
Oleh sebab itu, perlu ada kesadaran bahwa di balik ekspetasi tinggi Kluivert sebagai seorang pelatih, ada realitas yang perlu dihadapi dan diakui sebagai bagian dari kultur sepak bola di Indonesia.Â
Kluivert sekiranya menepikan ekspetasi terlalu tinggi pada timnas yang sementara berjuang untuk masuk Piala Dunia 2026.
Yang perlu dibenahi saat ini adalah bagaimana mengevaluasi performa Timnas di masa STY secara komprehensif. Titik-titik lemah yang kerap muncul di era STY perlu diperbaharui agar bisa membangun timnas jauh lebih maju dari sebelumnya.
Sebagai suporter kita pastinya mempunyai ekspetasi pada Kluivert dan timnya di kursi kepelatihan Timnas Garuda. Di balik ekspetasi itu, juga Kluivert tentu saja memiliki ekspetasi tersendiri pada Timnas Indonesia.
Ekspetasi itu sekiranya tak boleh mengurung pola pikir Kluivert sebagai pelatih.Â
Bagaiman pun, Kluivert perlu mencerna iklim sepak bola Indonesia agar ekspetasinya tak bertepuk sebelah tangan dan juga agar dia bisa menemukan solusi yang realistis dengan kondisi Timnas Indonesia yang sebenarnya.