Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Efek Ketokohan Lebih Kuat daripada Partai Politik

28 November 2024   12:11 Diperbarui: 28 November 2024   13:53 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilkada serentak. Foto: Kompas.com

Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 545 daerah pada 27 November 2024 menjadi momentum berharga bagi Indonesia yang merupakan negara demokrasi.

Hasil dari kontestasi politik terbesar itu sudah mulai nampak. Itu bisa dilihat dari perhitungan cepat yang ditampilkan oleh beberapa lembaga survei.

Hasil perhitungan cepat itu tentu saja belum menjadi konklusi akhir. Akan tetapi, itu bisa menjadi referensi dalam menilai kinerja para calon kepala daerah, para politikus, dan elemen partai selama masa kampanye.

Terlihat bahwa, walaupun bukan semua wilayah, faktor ketokohan mempunyai andil besar dalam menentukan kemenangan daripada kerja mesin partai.

Memang, ada satu faktor lain yang menentukan kemenangan di kontestasi pilkada yakni faktor status incumbent, yang mana yang bersangkutan sudah dikenal oleh rakyat, kapasitasnya sudah teruji dan dirasakan secara langsung oleh pemilih.

Pada kesempatan ini saya coba menelisik pada bagaimana faktor ketokohan sangat berperan penting dalam memberikan efek pada elektabilitas daripada peran partai politik.

Faktor ketokohan itu tak hanya berkaitan dengan sosok yang maju di kontestasi pilkada, tetapi juga sosok yang berada di belakang layar, yang mana sosok itu cukup berpengaruh kuat dalam menaikkan elektabilitas politik dan memberikan dukungan secara terbuka serta langsung.

Saya ambil contoh pada pilkada di provinsi Jakarta dan Jawa Tengah. Dua provinsi itu seperti menjadi area pertempuran politik antara PDI-P dan partai-partai lain. Paling tidak, dua daerah tersebut seperti menjadi perpanjangan lanjut arena pertempuran politik yang terjadi pada pilpres 2024.

Di Jakarta, PDIP dan Hanura mengusung pasangan calon (paslon) Pramono Anung-Rano Karno. Sejauh perhitungan cepat Litbang Kompas per 28 November 2024, suara Pramono-Rano unggul dengan jumlah suara 49.49 persen

Di tempat kedua, paslon Ridwan Kamil-Suswono mendapat jumlah suara dengan 40.02 persen. Kamil-Suswono didukung oleh 15 partai politik.

Lalu, paslon Dharma-Kun dengan 10.49 persen berada di tempat ketiga. Paslon ini muncul dari kalangan independen.

Sementara itu, di Jateng yang melibatkan dua paslon, Ahmad Lufhti-Taj Yasin Maimomen unggul 59.30 persen atas Andika Perkasa-Hendrar Prihadi yang mempunyai suara 40.70 persen.

Lufhti-Yasin didukung oleh 9 partai politk dan Andika-Hendrar hanya dijagokan oleh PDI-P. Hasil perhitungan cepat menunjukkan bahwa PDIP tunduk di wilayah yang sudah identik dengan basisnya.

Padahal, Jateng juga pernah dipimpin oleh Ganjar Pranowo yang merupakan kader PDI-P dan sekaligus capres yang diusung PDIP pada Pilpres 2024.

Hasil perhitungan cepat pada pilkada yang berlangsung di Jakarta dan Jateng itu terlihat bahwa peran partai politik belum tentu berefek pada elektabilitas. Terlihat pemilih condong memilih karena ketokohan dari sosok yang ditempatkan sebagai calon kepala daerah, sekaligus sosok yang berada di belakang para calon tersebut.

Misalnya di Jakarta, dukungan Ahok dan Anies Baswedan bisa menjadi salah satu faktor pendukung kemenangan Pramono-Rano. Anies dan Ahok mempunyai rekam sejarah politik dan basis kuat di Jakarta. Keduanya sama-sama mantan gubernur Jakarta.

Ahok yang merupakan kader PDIP pastinya mendukung Pramono-Rano di Jakarta. Sementara itu, Anies yang tak dipilih oleh partai politik mana pun untuk terlibat di kontestasi Pilkada Jakarta juga mendukung Pramono Anung-Rano Karno di Jakarta.

Seperti terlansir di Kompas.com (22 November 2024), Anies secara terbuka menyatakan dukungannya untuk Pramono-Rano dan berharap pasangan bernomor urut tiga itu melanjutkan program-program kerja yang telah dilakukan oleh gubernur sebelumnya.

Di sini, pemilih tak begitu peduli apakah Pramono-Rano didukung oleh PDIP ataukah tidak. Pasalnya, PDIP pernah kalah di Jakarta sewaktu di era Ahok. Boleh jadi, pemilih cenderung melihat dan mempertimbangkan dukungan para tokoh seperti Anies dan Ahok yang memberikan dukungan kepada Pramono-Rano.

Sama halnya dengan di Jateng. Pengaruh PDIP terlihat tak begitu berarti ketika membandingkan pengaruh ketokohan Joko Widodo yang memberikan dukungan secara terbuka kepada Luthfi-Yasin. Bahkan, dukungan yang sama juga hadir dari Presiden Prabowo Subianto untuk Luthfi-Yasin.

Menariknya, efek Jokowi terlihat tak begitu berpengaruh di Jakarta. Jokowi sendiri memberikan dukungan untuk Kamil-Suswono di Jakarta.

Ditambah lagi, pengaruh 15 partai politik tak begitu kuat di Jakarta. Terlebih lagi, Suswono sendiri berasal dari kader PKS, yang nota bene partai yang juga berbasis kuat di Jakarta.

Pengaruh ketokohan masih menjadi bagian vital dari percaturan politik di tanah air. Makanya, tak sedikit para calon kepala daerah merapat ke tokoh-tokoh politik guna mendapatkan simpati dan dukungan daripada menguatkan program dan ideologi yang telah digariskan oleh partai politik pengusung.

Tak pelak, foto para calon kepala daerah kerap disandingkan dengan tokoh-tokoh tertentu. Bahkan, nama-nama tokoh itu dijadikan ala jual semasa kampanye.

Efek ketokohan itu pun berjalan searah dengan pola pikir masyarakat. Dalam mana, masyarakat lebih pada idolisasi pada tokoh tertentu daripada menilik partai yang memboncengi kandidat kepala daerah. Idolisasi itu bisa disebabkan oleh pengakuan pada kapasitas dari tokoh yang diidolakan, rekam jejak yang telah ditorehkannya, hingga kedekatan latar belakang tertentu.

Pada sebab lain, kita melihat kelemahan dari partai politik yang tak begitu berfondasi pada ideologi yang kuat sehingga tak begitu meyakinkan pemilih. Belum lagi, kiprah partai politik di tanah air yang cenderung bekerja mengikuti alur kepentingan, daripada berpatokan pada asas dan ideologi partai. Akibatnya, partai politik lebih berperan seperti kendaraan politik semata daripada faktor pendukung kemenangan di kontestasi politik.

Pilkada serentak 2024 menunjukkan bahwa faktor ketokohan masih mempunyai pengaruh besar dalam memenangkan kontestasi daripada pengaruh partai politik. Hal itu bisa menunjukkan degradasi dari peran partai politik sendiri dan sekaligus evaluasi besar untuk partai-partai politik di tanah air.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun