Perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) 2024 yang sementara berlangsung di dua provinsi, Aceh dan Sumatra Utara (Sumut) sebenarnya menjadi ajang pencarian dan pembentukan bibit unggul di bidang olahraga.
Kalau mau jeli dan bijak, PON seharusnya menjadi arena pembinaan dan uji kualitas para atlet tanah air sebelum berlaga untuk konteks internasional.
Untuk itu, sangat disayangkan apabila PON dinodai oleh aksi para atlet yang tidak sportif atau juga kebijakan wasit yang cenderung berat sebelah.Â
Apabila noda seperti itu terjadi, maka besar kemungkinan hasil dari PON tersebut sulit menghasilkan para atlet yang handal untuk berlaga pada turnamen internasional.
Sama halnya dengan insiden yang terjadi di cabang sepak bola antar Kesebelasan Aceh dan Sulawesi Tengah (Sulteng) di Stadion Haji Dirmurthala, Banda Aceh (14/9/24).
Seturut laporan Kompas.id (15 September 2024), laga yang memperbutkan tiket ke semifinal cabang sepak bola itu berakhir dengan tiga kartu merah dan dua hukuman penalti untuk Sulteng.Â
Akibatnya, Sulteng memilih walk out atau tak mau melanjutkan laga yang seyogianya diteruskan hingga perpanjangan waktu.
Sedihnya, laga yang berlangsung keras dan kasar itu dinodai dengan tindakan pemukulan pada wasit. Pemukulan itu bisa saja dipicu oleh ketidakpuasan para pemain Sulteng pada keputusan wasit tersebut, termasuk memberikan hadiah penalti yang membuat skor berakhir seri 1-1 pada menit-menit perpanjanga waktu.
Efek lebih jauh, para pemain Sulteng enggan untuk melanjutkan laga di babak perpanjangan waktu dan dengan demikian Aceh yang berhak lolos ke babak selanjutnya.
Pelatih Sulteng, Zulkifli Syukur pun menyayangkan keputusan wasit yang terbilang kontroversial. Bahkan, Syukur menilai keputusan para wasit dalam laga tersebut itu bisa menjadi "ancaman" untuk proses pembinaan pemain di tanah air.
Pelajaran dari Laga antara Aceh dan Sulteng
Salah satu asas yang mesti dibangun dalam dunia sepak bola adalah sportivitas. Kadang kala kita hanya berpikir bahwa sportivitas itu mesti dipunyai oleh para pemain, tetapi kita perlu ingat dengan sportivitas pada peran dan pengaruh pengadil lapangan atau wasit. Â
Sportivitas para pemain itu nampak ketika mengakui kesalahan dan menerima dengan lapangan dada atas hukuman yang diberikan oleh wasit.Â
Sementara itu, sportivitas dari para wasit terjadi ketika memberikan hukuman dengan adil. Tanpa pandang buluh atau lebih menguntungkan salah satu tim.
Ketika aspek-aspek itu tidak diindahkan, tentu saja ada kekecewaan dan kemarahan dari para pemain.
Bahkan, para pemain tak segan melakukan tindakan anarkis, dalam mana tak lagi peduli bahwa ada pengadil lapangan yang mengatur jalannya laga.
Pemukulan pada wasit bisa saja menjadi kulminasi kekecewaan para pemain atas keputusan yang diambi oleh wasit. Â Juga, itu bisa membahasakan tentang ketidakdewasaan atau mentalitas lemah dari para pemain dalam menyikapi setiap keputusan yang diberikan dalam sebuah laga.
Lebih jauh, itu juga menjadi pengingat bagi para wasit. Perlu mengambil keputusan yang adil. Tak boleh menguntukan salah satu tim semata.
Oleh sebab itu, dari insiden yang terjadi dari laga antara Aceh dan Sulteng pada perempat final pada cabang sepak bola PON 2024, kita perlu sadar bahwa kemajuan sepak bola Indonesia masih jauh dari panggang api.
Barangkali kita begitu terbius dengan euforia performa Timnas Indonesia pada babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026. Timnas Indonesia mampu tampil meyakinkan sehingga merumitkan tim-tim kuat seperti Arab Saudi dan Jepang.
Namun, performa impresif itu terjadi berkat kehadiran para pemain naturalisasi atau pemain diaspora. Pemain naturalisasi menjadi solusi bagi Indonesia bisa bersaing di kualifikasi Piala Dunia 2026.
Harus diakui ada gap antara mentalitas pemain lokal dan pemain diaspora. Bukan saja soal kualitas di atas lapangan, tetapi juga perihal mentalitas bertanding dan menyikapi setiap masalah, seperti ketika dilanggar, menerima hukuman dari wasit dan menyikapi hasil laga.
Kehadiran para diaspora itu seyogianya menjadi pelajaran untuk sepak bola Indonesia, dan bukan semata-mata solusi untuk meraih kesuksesan.
Ya, jalan naturalisasi sekiranya tak menjadi satu-satunya solusi untuk sepak bola Indonesia. Masih sangat perlu membangun pembinaan para pemain yang terarah dan terstruktur agar talenta-talenta lokal bisa bersaing dan masuk Timnas Indonesia.
Pembinaan itu bukan saja berkaitan dengan pembentukan kemampuan pemain untuk bermain dan memahami strategi, tetapi juga berhubungan dengan pembinaan mentalitas.
Untuk itu, insiden di sepak bola PON menjadi kontraproduktif dengan upaya pembinaan pemain lokal di kancah sepak bola Indonesia. Malahan itu menjadi jalan mundur untuk sepak bola Indonesia.
Bahkan, hal itu seperti mengamini bahwa proses pembinaan kita masih jauh dari harapan sehingga jalan satu-satunya untuk menaikan level sepak bola di tanah air adalah dengan proses naturalisasi.
Aksi pemukulan dan mungkin keputusan wasit yang berat sebelah menjadi tantangan untuk perkembangan sepak bola di tanah air. Para pemain dan wasit perlu mendapatkan pembinaan yang komprehensif agar insiden-insiden yang menciderai wajah sepak bola Indonesia tak terus berulang terjadi.
Apabila situasi itu tak dibenahi, proses pembinaan pemain di dalam negeri tak akan berkembang atau tepatnya tak menjawabi tantangan untuk bersaing dengan pemain diaspora yang mendominasi Timnas Indonesia saat ini.
Salam Bola
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H