Pelajaran dari Laga antara Aceh dan Sulteng
Salah satu asas yang mesti dibangun dalam dunia sepak bola adalah sportivitas. Kadang kala kita hanya berpikir bahwa sportivitas itu mesti dipunyai oleh para pemain, tetapi kita perlu ingat dengan sportivitas pada peran dan pengaruh pengadil lapangan atau wasit. Â
Sportivitas para pemain itu nampak ketika mengakui kesalahan dan menerima dengan lapangan dada atas hukuman yang diberikan oleh wasit.Â
Sementara itu, sportivitas dari para wasit terjadi ketika memberikan hukuman dengan adil. Tanpa pandang buluh atau lebih menguntungkan salah satu tim.
Ketika aspek-aspek itu tidak diindahkan, tentu saja ada kekecewaan dan kemarahan dari para pemain.
Bahkan, para pemain tak segan melakukan tindakan anarkis, dalam mana tak lagi peduli bahwa ada pengadil lapangan yang mengatur jalannya laga.
Pemukulan pada wasit bisa saja menjadi kulminasi kekecewaan para pemain atas keputusan yang diambi oleh wasit. Â Juga, itu bisa membahasakan tentang ketidakdewasaan atau mentalitas lemah dari para pemain dalam menyikapi setiap keputusan yang diberikan dalam sebuah laga.
Lebih jauh, itu juga menjadi pengingat bagi para wasit. Perlu mengambil keputusan yang adil. Tak boleh menguntukan salah satu tim semata.
Oleh sebab itu, dari insiden yang terjadi dari laga antara Aceh dan Sulteng pada perempat final pada cabang sepak bola PON 2024, kita perlu sadar bahwa kemajuan sepak bola Indonesia masih jauh dari panggang api.
Barangkali kita begitu terbius dengan euforia performa Timnas Indonesia pada babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026. Timnas Indonesia mampu tampil meyakinkan sehingga merumitkan tim-tim kuat seperti Arab Saudi dan Jepang.
Namun, performa impresif itu terjadi berkat kehadiran para pemain naturalisasi atau pemain diaspora. Pemain naturalisasi menjadi solusi bagi Indonesia bisa bersaing di kualifikasi Piala Dunia 2026.