Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

KIM Plus Rapuh dan Alarm untuk Prabowo-Gibran

29 Agustus 2024   09:20 Diperbarui: 29 Agustus 2024   09:38 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pemimpin partai politik yang berada dalam lingkaran Koalisi Indonesia Maju. (FOTO: Kompas.com/Ardito Ramadhan D)

Dinamika politik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di tanah air berubah. Perubahan itu bermula dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat ambang batas pencalonan di pilkada dari jalur partai.

Sontak saja, keputusan MK itu ikut menggoyangkan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. Perlu diketahui bahwa koalisi itu terdiri dari 12 partai politik yakni, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gelombang Rakyat (Gelora), Partai Garuda, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Secara umum, KIM plus itu berada di bawah payung kepemimpinan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Pembentukan KIM Plus tak hanya bertujuan untuk menguatkan konsolidasi di tingkat pusat, tetapi juga upaya untuk menyatukan kekuatan di level daerah lewat Pilkada dalam satu kesatuan koalisi.

Akan tetapi, upaya itu terlihat tak terealisasi sejak keluarnya putusan MK. KIM plus tampak rapuh.

Pasalnya, beberapa partai di dalam lingkaran KIM plus memilih untuk mengusung calonnya sendiri dan bahkan Partai Golkar bersanding Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang nota bene bukan bagian dari KIM Plus untuk mengusung Cagub dan Cawagub Banten.

Kerapuhan KIM Plus bisa disebabkan oleh perbedaan kepentingan. Bukan tak mungkin, target dari partai-partai menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo-Gibran hanya demi kepentingan kekuasaan pada level pusat semata, dan bukan untuk level Pilkada.

Bagaimana pun, pada level daerah, tiap partai memiliki kekuatan politik tertentu. Misalnya, langkah PKB mengusung Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim dan keluar dari lingkaran KIM Plus pada Pilkada di Jawa Timur karena memang basis politik PKB yang terbilang kuat untuk konteks Jatim. 

Bahkan, calon yang diusung oleh PKB itu berpeluang akan melawan calon dari KIM Plus, Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elstianto Dardak.

Tentu saja, dari kaca mata politik, realitas perubahan dukungan di Pilkada menunjukkan dinamika politik yang makin menarik dan mencair. Isu Pilkada yang berpeluang melawan "Kotak Kosong" pun mulai menguap lantaran partai-partai politik yang berada dalam koalisi besar keluar dari lingkaran tersebut dan membangun poros baru.

Lebih jauh, jalan partai-partai yang berada di bawah KIM Plus untuk mengusung calonnya sendiri menandakan kedaulatan partai. Bagaimana pun, tiap partai politik pasti mempunyai target tersendiri dan mesin politik dalam mencapai tujuan kemenangan dari sebuah kontestasi.

Oleh sebab itu, sangat disayangkan ketika kekuatan partai tersebut disandera demi kepentingan koalisi semata. Jadinya, mesin kerja partai bisa saja menjadi macet atau pun gampang diombang-ambingkan satu kekuasaan politik semata. 

Langkah partai-partai politik yang keluar dari lingkaran KIM Plus dalam mengusung calon sendiri menunjukkan kedaulatannya bergerak dalam kontestasi politik.

Akan tetapi, langkah partai-partai dalam lingkaran KIM Plus mengusung calonnya sendiri bisa menjadi alarm untuk Prabowo-Gibran. Koalisi besar yang sekiranya menjadi kendaraan politik pada pemerintahan yang akan datang tak sekuat dengan apa yang dipikirkan dan diharapkan.

Kerapuhan KIM plus menjadi alarm bahwa koalisi besar itu terbangun bukan karena komitmen untuk mendukung program pemerintahan, tetapi semata-mata mencari kepentingan politik, seperti mendapatkan jabatan politik di level pusat. 

Masalahnya, ketika kader-kader dari partai politik yang kelak duduk di pemerintahan Prabowo-Gibran bekerja hanya untuk kepentingan partai tetapi mengabaikan program dan target yang mau dicapai oleh pemerintahan.

Koalisi besar memang menjadi kendaraan politik yang cukup efektif dalam menggolkan program tertentu. Namun, koalisi itu bisa menjadi batu sandungan tersendiri. Jangan sampai "senjata makan tuan", dalam mana pergerakan anggota partai politik dalam koalisi seperti api dalam sekam yang mengganggu kestabilan pemerintahan.

Belum lagi, tensi politik selama Pilkada. Tensi politik itu bisa saja berpengaruh pada relasi antara parpol di dalam lingkaran koalisi. 

Untuk itu, dinamika dalam kontestasi Pilkada menjadi referensi bagi Prabowo-Gibran dalam mengukur dan menilai kinerja dari mesin koalisi yang sudah terbangun. 

Sekiranya kerapuhan yang ditunjukkan pada Pilkada saat ini tak akan berujung pada ketidakstabilan dalam relasi politik di pemerintahan yang akan datang.

Salam  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun