Hari ini, Jumat (29/3/2024) umat Kristen Katolik di seluruh dunia merenungkan penderitaan dan kematian Tuhan Yesus di kayu salib. Biasanya hari ini disebut dengan Jumat Agung.Â
Perayaan hari ini sebenarnya keberlanjutan dari rangkaian perayaan selama sepekan hingga hari Minggu Paskah, yang mana dinamakan "Pekan Suci."Â
Perayaan Jumat Agung merupakan momen permenungan pada peristiwa penderitaan, penyaliban, dan kematian Tuhan Yesus.Â
Apabila kita pergi ke daerah-daerah yang bermayoritaskan Katolik, pelbagai kegiatan yang dibuat selama sepekan, terlebih khusus pada hari Jumat Agung, hari ini.
Salah satu kegiatan yang menarik perhatian dan ditekankan pada Jumat Agung adalah Jalan Salib. Ada rupa-rupa cara memaknai Jalan Salib, salah satunya lewat drama atau yang biasa disebut dengan tablo yang dimainkan oleh beberapa orang guna menghidupi kembali apa yang terjadi sewaktu penderitaan dan kematian Tuhan Yesus.
Mereka membuat drama mulai dari penangkapan Tuhan Yesus, proses pengadilan, penyiksaan ke jalan Golgota hingga proses penyaliban. Pendek kaya, situasi di masa lalu dihidupkan kembali lewat drama. Bahkan, pakaian yang dikenakan oleh pemain drama serupa dengan apa yang dikenakan pada masa lalu.Â
Ada pula yang membuat Jalan Salib di gereja atau pun di lingkungan umat sembari merenungkan peristiwa demi peristiwa yang terjadi dalam penyaliban Tuhan Yesus.
Esensi mendasar dari Jalan Salib adalah merenungi drama penyaliban Tuhan Yesus. Untuk konteks saat ini, permenungan itu dihubungkan dengan konteks kehidupan harian.Â
Lebih jauh, permenungan itu pun dikaitkan dengan realitas hidup yang sementara terjadi saat ini, baik itu di keluarga maupun kehidupan yang lebih luas.Â
Jalan Salib yang terjadi menjadi gambaran tak langsung dari realitas kehidupan yang penuh dengan kedukaan, kesulitan, dan penderitaan.
Apabila Tuhan Yesus disalibkan dengan langkah pengadilan yang tak adil, demikian pula ketidakadilan masih terjadi saat ini. Proses pengadilan yang cenderung tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas jika melihat proses dan hasil pengadilan yang terjadi.
Belum lagi ketimpangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Yang kaya kian menjadi kaya, yang berada di kalangan kelas menengah mulai kesulitan untuk memenuhi tuntutan hidup dan yang miskin kian terpuruk.
Beberapa waktu lalu kita dihadapkan dengan masalah kenaikan harga beras. Tak sedikit yang menilai bahwa kenaikan harga beras itu tidak berpihak sama sekali pada para petani tetapi memberikan keuntungan sebagian pihak.
Malahan, kenaikan itu seperti mencekik kaum kelas miskin dan menengah. Efeknya terjadi ketimpangan yang kian tajam di tengah masyarakat.Â
Ketimpangan sosial itu menjadi cerminan dari ketidakadilan sosial yang terjadi di tengah masyarakat pada saat ini dan menjadi wajah dari Jalan Salib pada masa kini.Â
Lantas bagaimana kita menghadapi ketidakadilan dan ketimpangan itu?
Pasrah pada keadaan bukanlah solusi. Sebagai warga negara, kita sekiranya mengkritisi ketimpangan yang terjadi sembari mencari solusi keluar dari persoalan tersebut.Â
Di tengah kegamangan atas kehadiran ataukah tidak atas kaum oposisi di pemerintahan saat ini, kita seperti terpanggil menjadi kaum oposisi.Â
Menjadi oposisi bukan berarti untuk melawan, tetapi untuk melakukan kontrol sosial berupa pengecekan dan koreksi atas apa yang dibuat dan dilakukan pemerintah.Â
Suara kritis menjadi wajah oposisi untuk mengontrol dan mengoreksi pemerintah agar berpihak pada kepentingan masyarakat pada umumnya, atau demi kebaikan bersama.Â
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI