Pemilihan umum sudah mendekat. Persiapan sudah dijalankan oleh kandidat politik, terlebih khusus para calon legislatif (caleg) baik dari tingkat pusat hingga tingkat kabupaten. Persiapan itu dibarengi dengan strategi politik untuk mendapat sebanyak mungkin suara di pileg mendatang.
Tentu saja, benang merah dari rangkaian persiapan yang sudah dilakukan itu tertuju pada kemenangan. Namun, meraih kemenangan untuk konteks kontestasi politik taklah gampang.
Prediksi tim sukses boleh saja meyakinkan, tetapi kejadian di hari pemilihan kadang berbeda. Lautan manusia boleh saja terjadi selama masa kampanye, namun realitas itu belum tentu merepresentasi secara total kesatuan dukungan.
Untuk itu, seorang caleg pun harus siap mental. Kesiapan mental itu berkaitan dengan hasil pemilu, apalagi jika hasilnya berseberangan dengan prediksi dan perkiraan yang telah terjadi selama masa kampanye.
Kesiapan mental itu perlu dibangun menjelang hari pemilihan. Kesiapan mental itu bisa berupa kesadaran untuk menerima setiap hasil pemilu, baik itu kalah atau pun menang.
Pernah suatu kali saya duduk dengan tiga calon bupati dalam satu meja mekan dalam acara resepsi pernikahan. Awalnya saya sungkan lantaran bertemu dengan tiga orang yang bertarung dalam kontestasi politik yang sama.
Namun, saya begitu terkejut ketika ketiganya begitu akrab. Bahkan, salah satu calon menyampaikan bahwa pertarungan mereka di arena pilkada seperti sebuah permainan dan sangat bergantung para rakyat. Siapa pun yang menang, mereka yakin bahwa itu merupakan kehendak rakyat.
Pernyataan itu secara implisit sudah menyatakan kesiapan mental mereka apabila gagal atau kalah dalam kontestasi politik. Efek lanjutnya bahwa mereka juga tak akan begitu berpengaruh apabila hasil tidak sesuai dengan harapan.
Seyogianya, menjelang hari pemilihan, para caleg harus sudah siap secara mental menghadapi pertarungan politik. Masuk arena politik selalu penuh dengan intrik dan itu membuat prediksi politik kerap kali berseberangan dengan hasil yang sebenarnya.
Untuk itu, sembari bersikap optimis, juga perlu ada sikap antisipasi apabila kekalahan terjadi. Tiga hal yang bisa menjadi cara kesiapan mental caleg menerima hasil pemilihan.
Pertama, Sadar jika kekalahan Bisa Terjadi
Hasil kontestasi politik selalu bermuara pada dua titik, yakni menang atau kalah. Dua kemungkinan ini harus menjadi landasan dasar yang ada di benak para caleg. Untuk itu, terbenam dalam pikiran bahwa kemenangan menjadi harga mutlak perlu dihindari agar tidak stres dan kecewa ketika hasilnya tak seperti itu.
Saya masih ingat ungkapan sindir, "seperti caleg stres" ketika melihat orang yang gila dan berbicara banyak hal. Padahal, si gila bukanlah mantan caleg, tetapi karena tak sedikit kenyataan yang menunjukkan bahwa orang menjadi stres dan bahkan gila lantaran kalah di pemilu.
Situasi itu terjadi karena tidak menyadari bahwa selain kemenangan, juga hasil kalah terjadi di pemilu. Seharusnya, disposisi batin terbangun dalam dua kutub itu agar terjauhkan dari situasi stres ketika kalah. Hal ini pun menjadi landasan dasar untuk menguatkan mental.
Kedua, berkorban dengan jalan yang benar
Banyak orang kecewa dengan hasil pertarungan politik karena sudah banyak hal yang dikorbankan sewaktu kampanye, dan bahkan menjelang pemilihan. Sejumlah uang dikucurkan untuk menarik massa atau juga bagian dari akomodasi selama masa kampanye.
Pengorbanan itu terasa hampa saat hasilnya tak sesuai dengan kenyataan. Ujung-ujungnya, kecewa dan stres karena banyak uang yang habis tetapi kenyataannya adalah kalah.
Oleh sebab itu, politik uang perlu dijauhkan. Tak boleh berkorban dengan jalan yang salah. Apabila kita mau benar-benar terpilih, seorang caleg perlu yakin bahwa isi dan strategi kampanye dipandang ampuh untuk mendapatkan suara.
Saya ingat kaka sepupu saya yang kalah pileg tingkat provinsi beberapa tahun lalu. Dia tidak kecewa karena tak terlalu mengucurkan uang selama masa kampanye. Malahan, dia begitu terkejut ketika banyak suara yang diperoleh dari tempat yang bukan basis massanya.
Lebih jauh, dia juga sadar bahwa keterbatasannya dalam masa kampanye sudah jelas menandakan bahwa jalannya untuk menang rada sulit. Juga, dia tak perlu berkorban banyak hal dan dengan cara yang salah hanya untuk mendapatkan suara.
Berkorban dengan cara yang salah di waktu kampanye kadang beresiko. Apalagi, hal itu malah berujung pada masalah hukum dan juga kekalahan karena kurangnya suara. Untuk itu, lebih baik percaya dan yakin pada strategi kampanye yang telah dibuat.
Ketiga, selektif dalam membaca prediksi politik
Tiap caleg umumnya mempunyai tim sukses atau rekan untuk menggolkan strategi kampanye. Menurut saya, tak semua tim sukses patut dipercayai. Kadang ada tim sukses yang hanya "mulut manis" guna menyenangkan calon yang diusungnya. Ujung-ujungnya adalah kucuran uang demi kepentingan peribadi semata.
Prediksi politik kadang sulit ditebak. Apa yang tertera di atas kertas dan yang hadir di setiap musim kampanye belum tentu mewakili suara keseluruhan. Untuk itu, seorang caleg perlu selektif dan jeli melihat pergerakan politik dan kemungkinan yang terjadi di waktu hari pemilihan. Tujuan akhirnya agar pemahaman itu menjadi landasan penerimaan atas hasil yang diperoleh dalam pemilihan. Â
Para caleg harus siap mental menghadapi hasil pileg di 14 Februari mendatang. Apa pun hasilnya, sekiranya itu tak melukai mentalitas mereka, tetapi malah menguatkan mentalitas mereka dalam berpolitik.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H