Budaya mengundurkan diri dari dunia kerja bukanlah wajahlah baru. Sudah sangat lumrah ada pekerja atau pun pemimpin mengundurkan diri dari tanggung jawab yang dilimpahkan.
Kemarin, saya didatangi oleh seorang teman. Saya menanyakan pekerjaannya di kantor Rescue atau untuk konteks di Indonesia kantor untuk Tim SAR.
Saya begitu terkejut ketika mengetahui dia sudah mengundurkan diri. Padahal, dia melewati beberapa tahap seleksi hingga bisa bekerja di tempat itu. Â
Menurutnya, salah satu motifnya adalah masalah gaji yang tak berimbang dengan tuntutannya sebagai kepala keluarga.Â
Melihat ada kesempatan lain yang lebih menjanjikan, teman ini pun memilih  pengunduran diri dan melamar ke tempat kerja yang lebih menjanjikan untuk keluargannya. Hal ini adalah salah satu contoh kejadian pengunduran diri di dunia kerja.
Barangkali hal yang jarang saya pribadi saksikan adalah pengunduran diri  seseorang dari jabatan politis seperti presiden, wapres, anggota DPR, gubernur, bupati, dan pelbagai jabatan politis lainnya.
Karena kejarangannya, pengunduran diri seorang dari jabatan politik, secara pribadi, saya melihatnya sebagai hal cukup cukup mengejutkan. Â
Bukan rahasia lagi ketika sudah duduk di jabatan politik, banyak privilege atau keistimewaan yang didapat. Bahkan ada yang mau mendapatkan jabatan politik karena jaminan hidup yang mencukupi.Â
Untuk itu, cukup mencengangkan ada yang mau meninggalkan keistimewaan itu.Â
Terlebih lagi, pengunduran diri itu bukan dilatari oleh masalah politis, tetapi karena ketidakmampuan untuk mengemban amanah yang diberikan.
Paling tidak, hal inilah yang melatari aktor Lucky Hakim mengundurkan diri dari jabatan sebagai wakil bupati Indramayu.Â
Melansir berita dari Kompas. com (15/2/23), Lucky Hakim  menyatakan bahwa beliau mengundurkan diri dari jabatan sebagai wakil bupati sejak 13 Februari.
Sebagaimana yang disampaikan dalam wawancara yang berlansung di kawawasan Tapos, Depok, Jawa Barat, Lucky Hakim selain menegaskan pengunduran diri, juga menyampaikan motif di balik pengunduran dirinya.
Menurut pria berusia 45 tahun ini, dia mengundurkan diri karena tak bisa mengembang amanah yang dipercayakan kepadanya.Â
Secara spefisik, dia menilai bahwa dia tak mampu merealisasikan janji yang disampaikan selama masa kampanye. Karena ketidakmampuannya itu, Lucky Hakim memilih untuk mengundurkan diri daripada menghianati janji yang telah dibuatnya.Â
Sepintas hal ini memberikan pendidikan politik, sekaligus membangun budaya baru dalam dunia politik.
Pada tempat pertama, Lucky Hakim memberikan pendidikan politik dalam menilai dan memanfaatkan jabatan politik.Â
Jabatan politik yang terlahir leat kontestasi politik merupakan amanah rakyat. Makanya setiap pemimpin politik mesti mempertanggungjawabkan jabatan itu lewat kepemimpinan yang berpihak pada rakyat dan bukannya berseberangan dari amanah rakyat.
Lucky Hakim resmi memimpin sebagai wabup pada 26 Februari 2021. Dan 3 tahun kemudian, Lucky menyadari bahwa dia tak mampu mengemban amanah itu. Pengunduran diri pun menjadi pilihan, sekaligus membuka peluang untuk sosok yang bisa dinilai pantas.Â
Kedua, pengunduran diri itu mencerminkan masih adanya "budaya malu' di. Menelisik alasan di balik pengunduran diri Lucky Hakim, terlihat ada rasa malu karena tak mampu merealisasikan visi dan misi selama masa kampanye.Â
Budaya malu, hemat saya, merupakan kearifan yang patut dihidupi dan dipertahankan.Â
Budaya malu yang positif itu muncul saat merasa malu tatkala tak mampu menunjukkan kompetensi yang diharapkan. Padahal, sudah memberikan iming-iming yang menarik perhatian, Â namun faktanya gagal untuk mewujudnyatakannya.
Juga, budaya malu itu muncul ketika gagal memenuhi dan merealisasikan janji politik kepada masyarakat.Â
Tentu saja, budaya malu tercipta apabila apabila suara hati terbentuk atas dasar nilai-nilai kebajikan di dalam diri. Dalam mana, seseorang merasa tak nyaman apabila perilakunya tak sesuai dengan suara hati dan kemudian merasa malu dengan performanya.
Ketiga, pengunduran Lucky Hakim bisa menjadi referensi untuk setiap orang apabila maju menjadi pemimpin politik.Â
Pertanyaan paling mendasar, apakah saya/dia/kita mampu menjadi pemimpin politik?
Kemampuan diri harus diukur secara telti dan seksama agar tak merasa kaget dan tak berdaya ketika duduk di kursi kepemimpinan.Â
Apabila hanya mengikuti arus tertentu dan mendapat sokongan pihak tertentu tanpa pertimbangan  pada kemampuan pribadi, maka hal itu bisa berujung pada ketimpangan dalam memimpin.Â
Jadinya, menjadi pemimpin akan gampang terbawa oleh arus tertentu dan bukannya terbangun oleh kemampuan pribadi.Â
Pengunduran diri Lucky Hakim dari jabatan wakil bupati Indramayu bisa memberikan pelajaran penting untuk dunia politik di tanah air.Â
Lebih jauh, setiap orang diingatkan bahwa jabatan yang diberikan harus dipertanggung jawabkan, dijaga, dan dihormati. Ketika tak sampai pada level itu, pengunduran diri bisa saja menjadi jalan untuk menghargai orang telah memercayakan jabatan tersebut. Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H