Kesehatan mental selalu bermula dari kehidupan keluarga. Sejatinya, keluarga merupakan fondasi dasar yang membentuk dan membangun mentalitas anak.Â
Ketika fondasi yang terbangun di kehidupan keluarga kuat dan kokoh, pembentukan dan perkembangan mentalitas anak pun bisa kuat dan kokoh dalam segala situasi dan masa. Sebaliknya, fondasi yang tak kuat selalu berujung pada kerapuhan mentalitas anak.Â
Hal itu tak hanya pada level dini sewaktu berada di bangku sekolah, tetapi itu bisa berlangsung ketika tamat sekolah dan berpisah dari orangtua. Tak jarang terjadi, gegara kerapuhan kesehatan mental yang terjadi di keluarga ikut menyebabkan ketimpangan perilaku ketika berada di dunia kerja atau pun sudah membangun keluarga tersendiri.Â
Untuk itu, institusi keluarga, dalam hal ini orangtua, perlu mempunyai sistem yang kuat dalam membangun kesehatan mentalitas anak. Sistemnya itu itu terbangun lewat pengetahuan orangtua pada pentingnya kesehatan mental, sekaligus kemampuan orangtua dalam membangun kesehatan mental anak.Â
Tanpa pengetahuan yang mumpuni dan keterbatasan dalam mengetahui kesetahan mental, orangtua cenderung mendidik menurut pola-pola konvensional.Â
Dalam arti, sejauh anak didisiplinkan dengan pola pendidikan tertentu, orangtua merasa puas. Namun, belum tentu pola kedisiplinan yang diterapkan menyebabkan mentalitas anak terbangun.Â
Malahan, pola kedisiplinan itu membuat mentalitas anak terluka, terkungkung, dan kehilangan kepercayaan diri karena itu tak menjawabi tuntutan mentalitas anak.
Selain itu, pendidikan demi kesehatan mental anak di keluarga juga bergantung pada kesehatan jiwa orangtua. Orangtua yang mempunyai kesehatan mental yang baik akan bisa menjadi guru yang terbaik untuk anak-anak.Â
Namun, ketika orangtua mempunyai masalah kesehatan jiwa, pola pendidikan di keluarga akan menjadi timpang. Malahan, anak akan menjadi korban dari ketidaksehatan mental orangtua.Â
Maka dari itu, orangtua perlu sehat secara jiwa dan mental untuk anak-anak. Dengan ini, orang bisa berupaya mencari cara yang tepat agar pola pendidikan di keluarga tetap membangun dan membentuk kepribadian anak tanpa menciptakan luka batin atau pun sakit hati pada anak.Â
Pertama: Orangtua Berlaku sebagai Pendamping daripada Pengontrol.Â
Pertumbuhan dan perkembangan anak tak lepas dari masanya tersendiri. Pengaruh teknologi saat ini ikut memengaruhi tingkah laku dan cara pandang anak. Bahkan hal itu pun merambat dalam kehidupan berkeluarga.Â
Di tengah situasi seperti ini, orangtua sekiranya lebih berperan sebagai pendamping daripada pengontrol. Orangtua perlu melek juga dunia dan masa kehidupan anak agar bisa menjadi pendamping yang terbaik.Â
Ketika orangtua sudah menempatkan diri sebagai pendamping yang baik untuk anak, dia pun mendapat kepercayaan penuh dari anak. Dalam arti, orangtua tak dipandang sebagai sosok yang ditakuti, tetapi sosok yang bisa mengarahkan anak pada hal-hal yang terbaik.Â
Hal ini bisa muncul lewat keberanian anak untuk bertanya tatkala menghadapi masalah atau pun menjumpai hal-hal baru dalam kehidupan mereka. Ketika anak sudah menaruh kepercayaan, orangtua pun gampang menempatkan dirinya sebagai pengontrol anak untuk membedakan mana yang salah dan mana yang baik.Â
Pasalnya, tak sedikit terjadi ketika orangtua langsung menempatkan diri sebagai pengontrol anak yang cenderung membatasi pergerakan anak. Anak boleh saja mengiakan perintah orangtua, namun hal itu bisa dilakukan dalam nada pemberontakan.Â
Efek lanjuntnya pada rasa sakit hati karena orangtua lebih dipandang sebagai sosok yang tak mengontrol daripada pendamping yang mendukung. Sebaliknya ketika orangtua mendamping perkembangan anak secara positif, peka, dan perhatian, anak bisa merasa diri ada sosok orangtua yang bisa dipercayai.Â
Kedua: Beri Apresiasi Anak dengan Cara yang Bijak
Apresiasi untuk anak sangatlah penting. Wajah apresiasi orangtua untuk anak itu bermacam-macam. Umumnya, orangtua memberikan hadiah barang-barang kepada anak.
Namun, sejauh pengamatan ada fenomena pemberian apresiasi yang bisa membuat mentalitas anak terganggu. Misalnya, ketika orangtua mengupayakan untuk menghentikan anak yang menangis atau juga merengek sesuatu, orangtua langsung menyodorkan handphone.Â
Pola seperti ini membuat anak menjadi bergantung. Setiap kali menghadapi masalah dan pekerjaan tertentu, anak selalu menjadi ganjaran atau hadiah apa yang bisa didapatkan.Â
Pola seperti ini bisa melemahkan mentalitas anak. Ketika menghadapi konteks dan tempat di mana pemberian hadiah dan ganjaran bukanlah hal yang lumrah, si anak bisa saja cenderung merasa kecewa. Kekecewaan itu bisa melukai mentalitas anak ketika dia melihat situasi sebagai hal yang menghargai dirinya.Â
Oleh sebab itu, tiap orangtua harus bijak memberikan apresiasi dalam bentuh hadiah kepada anak. Tak setiap hal harus mendapat hadiah. Juga, orangtua perlu menjelaskan hal itu agar anak bisa memahami momentum pemberian hadiah.
Ketiga: Tahu Tempat dan Waktu Saat Memarahi Anak
Tak masalah orangtua memarahi anak. Kemarahan itu perlu terjadi pada waktu dan tempat yang tepat. Contoh paling sederhananya adalah tak boleh memarahi anak di depan umum, apalagi di media sosial.
Lebih jauh, orangtua perlu mengerti masalah yang terjadi daripada langsung memarahi anak. Sebelum kemarahan dilontarkan, orangtua perlu mencerna dan meneliti persoalan dengan seksama.Â
Pasalnya, sakit hati anak kerap kali terjadi ketika orangtua berlaku sepihak tanpa meminta konfirmasi lebih jauh ketika anak melakukan kesalahan ataupun menghadapi masalah. Ketika hal itu terjadi, anak merasa terpojok, sakit hati, dan bisa menimbulkan kemarahan batin di dalam diri.Â
Akibatnya, anak melihat sosok orangtua sebagai sosok yang ditakuti dan bahkan dibenci. Efek lanjutnya bisa terjadi lebih jauh, di mana anak tak begitu tertarik menjadi orangtua atau kehilangan kepercayaan pada sosok orangtua.Â
Keempat: Perlakukan Anak Secara Sama
Tak begitu masalah ketika sebuah keluarga hanya mempunyai satu anak. Menjadi tantangan ketika ada dua anak atau lebih. Tantangannya adalah pada bagaimana orangtua memperlakukan anak-anaknya.Â
Sejatinya, orangtua perlu memperlakukan setiap anak secara sama. Tak boleh ada diskriminasi. Tak yang lebih difavoritkan daripada yang lain.Â
Perlakuan yang tak sama bisa menimbulkan luka batin, perasaan kecewa dari anak yang lain. Perlakukan yang tak adil itu bisa membuat mentalitas anak terluka, seperti kecewa dengan orangtua dan hidup berkeluarga karena merasa dipojokan dan tak mendapat tempat di keluarga.Â
Agar hal itu tak terjadi, orangtua perlu berlaku adil untuk setiap anak. Perlakuan yang adil nampak ketika orangtua memperlakukan setiap anak secara sama dan tanpa pertimbangan tertentu.Â
Keluarga menjadi tempat yang paling penting dalam membangun kesehatan mental. Ketika sebuah keluarga mempunyai sistem pendidikan yang teratur dan kuat, kesehatan mental anak juga bisa terbangun dengan baik.Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H