Ketika Manchester United (MU) bersua kontra Chelsea di pekan ke-13 Liga Inggris, banyak orang yang berspekulasi tentang apa yang dilakukan oleh Darren Fletcher. Fletcher yang merupakan mantan pemain MU ini berperan sebagai asisten pelatih.
Fletcher terlihat menggunakan ear phone dan tampak berbicara dengan seseorang dalam laga itu. Spekulasi pun beredar jika Fletcher sementara berbicara dengan Ralf Rangnick, sosok yang ditunjuk sebagai pelatih interim MU hingga akhir musim.
Kubu MU menepis duggaan itu. Kabarnya, Fletcher berbicara dengan salah satu analis MU yang berada di bagian atas stadion.
Spekulasi ini pun menguat karena pola permainan MU kontra Chelsea. Terlihat persis sama dengan apa yang diinginkan Ralf Rangnick.
Kendati MU lebih berasa memainkan metode "parkir bus" namun MU begitu solid meladeni anak-anak asuh Thomas Tuchel.
Juga, dalam laga ini, Michael Carrick yang berlaku sebagai pelatih sementara berani membangkucadangkan Cristiano Ronaldo. Tak ayal, keputusan berani ini dikaitkan dengan komunikasi antara kubu Carrick dengan Rangnick.
Spekulasi-spekulasi ini, di satu sisi, seolah menyudutkan posisi Carrick sebagai pelatih sementara menggantikan Ole Gunnar Solksjaer.
Dengan kata lain, Carrick tak terlalu dianggap sebagai sosok yang tepat untuk menggantikan Solksjaer. Banyak pihak yang lebih berpikir tentang Rangnick daripada peduli pada keberadaan Carrick sebagai pelatih sementara.
Boleh jadi, koneksi Carrick dengan Solksjaer yang begitu dekat membuat banyak pihak masih ragu dengan posisi dan kemampuannya di MU.
Tak heran, kedatangan Rangnick yang dikontrak sebagai pelatih interim MU hingga akhir musim ini menjadi harapan besar bagi suporter MU. Harapan ini muncul ketika menimbang filosofi dan metode kepelatihan Rangnick di Jerman.
Rangnick dipandang sebagai salah satu pelopor gaya gegenpressing yang sementara ini dihidupi oleh Thomas Tuchel di Chelsea dan Jurgen Klopp di Liverpool. Ketiganya pun berasal dari latar belakang yang persis sama.
Keberhasilan Tuchel bersama Chelsea dan Klopp bersama Liverpool seolah memberikan asa baru bagi MU kalau dilatih Rangnick. Tak heran, harapan besar berada di pundak Rangnick dalam mengubah MU agar bisa tampil selevel dengan Chelsea dan Liverpool di Liga Inggris.
Harapan ini pun sepertinya menyempitkan ruang Carrick di MU. Â Carrick yang melatih MU di 3 laga seolah tak diperhitungkan. Bahkan tempatnya kembali berada di asisten pelatih Rangnick.
Barangkali menimbang situasi ini, Carrick memilih untuk pergi dan mengundurkan diri dari MU daripada menjadi asisten pelatih dari Rangnick. Toh, situasi MU pasti akan berbeda daripada yang dialaminya bersama Ole.
Pilihan Carrick undur diri dari MU sangat mengejutkan. Di tiga laga, Carrick berhasil mencatat 2 kemenangan kontra Villareal di Liga Champions dan Arsenal di Liga Inggris dan 1 hasil seri kontra Chelsea.
Menimbang 3 laga ini, Carrick termasuk sukses. Ketiga tim termasuk tim-tim kuat. Akan tetapi, Carrick mampu membuat MU tak terjebak pada situasi sulit setelah Solksjaer dipecat manajemen MU.
Secara umum, Carrick mampu membuat MU tampil pada jalur yang tepat. Keberaniannya dalam mengubah formasi, memainkan atau pun membangkucadangkan para pemain top di MU menjadi catatan positif bagi MU.
Carrick sudah undur diri. Hanya waktu yang bisa mengatakan jika keputusan Carrick ini merupakan petaka bagi MU.
Terlebih lagi, ketika harapan yang disematkan kepada Rangnick tak berjalan sesuai rencana. Bagaimana pun, MU sementara haus gelar.
Anggaran belanja di era Solksjaer tak berbuah satu pun trofi. Tak berlebihan jika suporter kecewa dengan performa Solksjaer.
Kehadiran Rangnick yang mempunyai rekam sejarah yang cukup positif membangkitkan harapan besar di Old Trafford.Â
Bukan tak mungkin, banyak suporter MU yang mulai berharap agar MU bisa mengikuti jejak Liverpool dan Chelsea dalam meraih kesuksesan pada musim ini.
Harapan ini terlalu beresiko. Beban bisa saja hadir di tengah harapan yang menguat di antara para suporter.
Bagaimana pun, sistem dan filosofi permainan akan berjalan dengan baik apabila tim mempunyai pemain yang selaras dengan sistem dan filosofi pelatih.
Persoalannya, ketika Rangnick tak memiliki ketersediaan pemain yang sesuai dengan sistem kerjanya. Jadinya, dia berupaya berdamai dengan kenyataan dan ketersediaan pemain sembari menanti musim transfer dibuka.
Efeknya, memaksakan pemain untuk bermain seturut sistem tertentu bisa saja membuat pemain itu tak bisa tampil maksimal. Apalagi pemain yang sudah diberikan peran dominan oleh pelatih terdahulu.
Ketika peran itu dikungkung oleh sistem baru dari pelatih baru, pemain itu bisa saja tampil tak maksimal. Kecuali kalau dia berhasil menyesuaikan diri dengan menerima peran barunya.
Cristiano Ronaldo sempat frustrasi ketika dimainkan di babak kedua saat MU bermain imbang kontra Chelsea. Banyak pihak yang memuji langkah Michael Carrick dalam laga ini karena dia mengedepankan sistem permainan daripada kualitas individu semata.
Keputusan berani ini berbuah pada kekecewaan si pemain. Beruntung Carrick coba mendamaikan situasi dengan menurunkan Ronaldo sejak menit awal ketika berjumpa Arsenal.
Harapan besar boleh disematkan kepada Rangnick. Namun, harapan itu tak boleh membuat pelatih interim ini terbebankan.
Sebabnya, Rangnick masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan skuad yang ada. Sistem kerjanya sebagai pelatih yang pro gaya gegenpressing ini membutuhkan para pemain yang memang cocok dengan gaya ini.
Rangnick akhirnya mendapat visa kerja di Inggris. Beberapa hari setelahnya, Carrick pun mengundurkan diri dari tim kepelatihan MU. Inilah dua realitas yang terjadi Old Trafford.
Dua realitas ini bisa berdampak seperti dua sisi koin. Pada satu sisi, Rangnick berhasil membangun MU, dan kepergian Carrick bukanlah petaka.Â
Pada sisi lain, proyek Rangnick gagal di MU, dan pengunduran Carrick pun menjadi penyesalan di Old Trafford.
Salam Bola
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H