Bukan tak mungkin, banyak suporter MU yang mulai berharap agar MU bisa mengikuti jejak Liverpool dan Chelsea dalam meraih kesuksesan pada musim ini.
Harapan ini terlalu beresiko. Beban bisa saja hadir di tengah harapan yang menguat di antara para suporter.
Bagaimana pun, sistem dan filosofi permainan akan berjalan dengan baik apabila tim mempunyai pemain yang selaras dengan sistem dan filosofi pelatih.
Persoalannya, ketika Rangnick tak memiliki ketersediaan pemain yang sesuai dengan sistem kerjanya. Jadinya, dia berupaya berdamai dengan kenyataan dan ketersediaan pemain sembari menanti musim transfer dibuka.
Efeknya, memaksakan pemain untuk bermain seturut sistem tertentu bisa saja membuat pemain itu tak bisa tampil maksimal. Apalagi pemain yang sudah diberikan peran dominan oleh pelatih terdahulu.
Ketika peran itu dikungkung oleh sistem baru dari pelatih baru, pemain itu bisa saja tampil tak maksimal. Kecuali kalau dia berhasil menyesuaikan diri dengan menerima peran barunya.
Cristiano Ronaldo sempat frustrasi ketika dimainkan di babak kedua saat MU bermain imbang kontra Chelsea. Banyak pihak yang memuji langkah Michael Carrick dalam laga ini karena dia mengedepankan sistem permainan daripada kualitas individu semata.
Keputusan berani ini berbuah pada kekecewaan si pemain. Beruntung Carrick coba mendamaikan situasi dengan menurunkan Ronaldo sejak menit awal ketika berjumpa Arsenal.
Harapan besar boleh disematkan kepada Rangnick. Namun, harapan itu tak boleh membuat pelatih interim ini terbebankan.
Sebabnya, Rangnick masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan skuad yang ada. Sistem kerjanya sebagai pelatih yang pro gaya gegenpressing ini membutuhkan para pemain yang memang cocok dengan gaya ini.
Rangnick akhirnya mendapat visa kerja di Inggris. Beberapa hari setelahnya, Carrick pun mengundurkan diri dari tim kepelatihan MU. Inilah dua realitas yang terjadi Old Trafford.