Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Jadi Perantara Roh Orang Mati, antara Beban Batin dan Tantangan Sosial

2 November 2021   18:26 Diperbarui: 2 November 2021   18:55 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Medical News Today via Kompas.com

Beberapa hari lalu, seorang teman berprofesi guru asal Manggarai Barat, Flores bercerita pengalaman pribadi yang berbau mistis. Selama beberapa tahun terakhir ini, dia kerap dirasuki oleh arwah dari orang meninggal dunia.

Menurutnya, dia bisa melihat roh, berkomunikasi dengan mereka, dan menjadi perantara roh orang mati dengan keluarga atau pun teman mereka. Pendeknya, dia seolah sudah menjadi instrumen dari roh-roh orang mati.

Persoalannya ketika dia tak bisa menerima kenyataan ini. Secara umum dia tak menyadari diri ketika dia dirasuki oleh orang mati. Namun, dia juga kadang sadar ketika melihat roh orang mati, seperti misalnya, saat mengunnjungi kuburan.

Karena situasi ini, dia seolah diliputi oleh beban batin. Beban batin karena merasa diri tak pantas untuk mendapat "karunia" seperti itu.

Teman ini termasuk orang yang rajin berdoa. Bahkan dia menjadikan hidup doa sebagai alat untuk menguatkan dirinya di tengah kenyataan yang dimiliki.

Karena kenyataan ini, tak sedikit orang yang datang kepadanya dan meminta bantuan spiritual. Mereka mendapat petunjuk guna melihat apakah persoalan yang terjadi di keluarga mereka atau relasi mereka ada hubungannya dengan roh-roh orang mati.

Bahkan orang sakit pun berdatangan. Umumnya, mereka sembuh ketika mendapat penerangan lewat komunikasi yang dijalaninya dengan roh orang mati yang kebetulan mempunyai ikatan tertentu dengan si sakit.

Kendati demikian, dia merasa terbebankan dengan situasi itu. Batinnya juga tak nyaman dan coba bertanya kepada rohaniwan tentang apa yang dialaminya.

Beban batin lainnya adalah dia tak mau dipandang sebagai dukun. Dalam bahasa Manggarai, Flores, istilah dukun biasa disebut dengan "ata mbeko."

Kadang-kadang, konotasi ata mbeko sangatlah negatif. Tak sedikit, orang menyudutkan makna ata mbeko dengan seseorang yang melakukan perbuatan jahat dengan memanfaatkan roh orang mati.

Dia tidak ingin konotasi yang sama juga melekat di dalam dirinya. Makanya, salah satu nasihat saya adalah dia perlu menjauhi diri dari penciptaan tuduhan-tuduhan ketika ada orang yang mau berkonsultasi tentang persoalan yang terjadi.

Tuduhan kerap menghadirkan masalah baru. Bukan saja, pasien atau orang yang berkonsultasi, tetapi itu juga bisa menambah beban baginya dalam menunjukkan diri di tengah masyarakat.

Selain beban batin dengan pengalamannya ini, dia juga berhadapan dengan tantangan sosial. Apalagi statusnya sebagai seorang guru SMK.

Sebagai seorang guru, kenyataan yang dialaminya itu sangat sulit untuk diterima secara akal sehat. Pada pihak lain, dia juga sulit menolak hal itu masuk ke dalam dirinya. Makanya, dia melihat bahwa apa yang dialaminya sebagai sebuah tantangan sosial.

Pastinya, tak sedikit orang yang menolak apa yang dimilikinya. Pertimbangan pertama adalah stusnya sebagai seorang guru dan masih berusia muda. Biasanya, orang yang mendapat "karunia" adalah mereka yang sudah berakar kuat dalam hidup beragama dan sudah masuk usia dewasa.

Penolakan pasti ada. Kecurigaan dari masyarakat juga sangat sulit terhindarkan, termasuk tuduhan yang menilai dirinya sebagai "ata mbeko". Ujung-ujungnya, dia bisa saja mendapat label negatif apabila apa yang dimiliki merugikan orang lain.

Secara tidak langsung, teman ini akan menghadapi tantangan sosial yang tak gampang. Maka dari itu, menjaga diri dari tuduhan-tuduhan tak jelas perlu dihindari.

Selain itu, kesombongan rohani yang merasa diri suci juga perlu dijauhi. Pada tempat pertama, tetap merasa diri sebagai manusia yang berkekurangan, tetapi dipercayakan dengan kemampuan mistis tertentu.

Ya, kenyataan mendapat karunia tertentu, seperti menjadi dukun sangat sulit dihindari dari realitas sosial. Ini adalah bagian dari fenomena sosial yang tak boleh "dihakimi" begitu saja dan gampang dipandang salah.

Seharusnya, fenomena ini dipelajari secara mendalam agar masyarakat bisa melihat secara rasional dan mencernanya dalam kaca mata iman. Tujuannya, agar kita tak terjebak pada pikiran yang keliru dan sikap yang salah.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun