Kedua, Membicarakan masalah dengan pihak netral.Â
Kalau memang masalah bersuami-istri sulit didiamkan, lebih baik kita perlu ungkapkan dan luapkan. Cara meluapkan masalah ini sangat perlu diperhatikan. Tak boleh di tempat yang salah.
Misalnya, kita tak boleh memanfaatkan media sosial untuk meluapkan emosi kita kepada pasangan.
Selain itu, kita perlu mencari orang yang tepat untuk membicarakan masalah yang terjadi dengan pasangan. Orang yang tepat itu adalah orang yang netral. Kalau boleh, dia adalah sosok yang tak mempunyai ikatan kekeluargaan.
Dalam tradisi pernikahan Kristen Katolik, ada pihak yang berperan sebagai "Bapa dan Mama saksi Perkawinan." Mereka biasanya ditentukan oleh pengantin wanita dan biasanya mereka berasal dari pihak netral.
Tugas mereka sebenarnya menjadi "orangtua angkat" yang bisa membantu perjalanan hidup pasangan. Dengan ini, pasangan bisa berkesempatan untuk menyampaikan keluhan mereka apabila terjadi persoalan. Â
Ada banyak pihak netral di lingkungan sosial. Mereka bisa saja teman akrab, kaum agamawan/religius/rohaniwan/wati. Pendeknya, mereka itu adalah orang-orang yang bisa dipercayai untuk menjaga rahasia dan membantu hidup perkawinan.
Tujuan berkonsultasi dengan pihak netral adalah agar menghindari keberpihakan pada salah satu pasangan. Makanya, pihak netral ini bisa juga melihat, menilai, dan mengolah persoalan secara berimbang. Tak sekadar setuju pada pasangan yang menyampaikan keluh kesah. Â
Dengan kata lain, pihak netral ini bukan saja mendengar apa yang terjadi, tetapi dia juga bisa menjadi alat untuk mencari solusi untuk persoalan yang sementara terjadi.
Ketiga, Berani untuk membela pasangan ketika dipojokan oleh keluarga
Membela pasangan sendiri itu sangat perlu. Apalagi pembelaan itu bertujuan untuk menjauhi tuduhan dan dugaan palsu tentang pasangan.