Kekalahan Arsenal kontra Chelsea mengulangi kekecewaannya di kandang Brentford. Tidak ada pembenahan berarti dari Arsenal dalam menghadapi kekuatan Chelsea di pekan ke-2.
Malahan, Arsenal begitu rapuh di depan pendukungnya sendiri. Akibatnya, bukannya suporter mendukung para pemain Arsenal untuk bangkit, malah mereka mendapat siulan ejekan.
Situasi yang cukup menyakitkan. Tanpa dukungan berarti dari suporter, penampilan tim bisa saja terus melempem dan tidak mengarah ke pembenahan.
Arsenal makin tak berdaya. Kekalahan dari Chelsea menempatkan Arsenal di zona degradasi. Memang, dua kekalahan perdana tidak menjadi tolok ukur.
Musim kompetesi masih panjang. Segala sesuatu masih bisa terjadi. Arsenal masih mempunyai kesempatan untuk berbenah sekaligus keluar dari ketakberdayaan.
Toh, tak ada tim yang sempurna. Di awal musim, semua tim mempunyai peluang yang sama.
Ambil contoh, Manchester United (MU) yang tampil percaya diri pada laga perdana ditahan imbang oleh Southampton 1-1. Laga seri ini seolah menunjukkan bahwa persoalan MU di musim lalu masih membekas, yang sulit untuk meladeni tim-tim kuda hitam, seperti Southampton.
Belum lagi, koneksi lini belakang dan gelandang bertahan kerap amburadul. Beruntung bagi MU, David De Gea tampil gemilang dalam menahan serangan lawan yang tercipta oleh keselalahn komunikasi lini belakang.
Southampton bermain rapat. Berhasil meredam koneksi Bruno Fernandes dan Paul Pogba sebagaimana yang terjadi di pekan pertama. Juga, kelincahan Jadon Sancho tertutup rapat di sisi kiri pertahanan.
Permainaan rapat ini ala Southampton membuat MU kehabisan ide. Southampton bermain begitu rapat sembari menanti kesalahan komunikasi di lini belakang MU.
Hasil imbang membawa MU kembali mendarat ke bumi. Persaingan meraih trofi Liga Inggris tak akan semulus seperti yang dibayangkan.