Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

2 Pandangan Keliru dari Konsep Anak Sulung

11 April 2021   16:34 Diperbarui: 13 April 2021   03:02 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya adalah seorang anak sulung dari empat bersaudara. Sejauh saya berperan sebagai anak sulung, dua pandangan yang saya rasa agak keliru. Pandangan ini lebih terlahir dari konteks keluarga kami dan juga dari apa yang saya jumpai di beberapa keluarga.

Hal ini juga bukan sebuah pembelaan diri. Diterima atau tidak, itu bergantung pada sudut pandang kita masing-masing.

Pandangan keliru pertama adalah anak sulung harus menjadi contoh terbaik dan tidak boleh salah.

Adik saya tiga orang. Satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Seperti sudah tergariskan dalam pola pikir orangtua kami bahwa cara hidup saya mesti menjadi cerminan yang semestinya bisa dilihat, dicontohi, dan ditiru oleh adik-adik saya. Pendeknya, saya harus menjadi teladan terbaik untuk mereka.

Makanya, saat kami melakukan kesalahan, misalnya saya dan adik laki-laki saya, bukan adik laki-laki saya yang dipersalahkan. Saya yang lebih dipersalahkan. 

Alasannya, karena saya sebagai kakak sekaligus anak sulung tidak bisa menjadi kakak yang mengarahkan adik saya untuk tidak boleh melakukan kesalahan. 

Begitu pula, ketika adik-adik saya jatuh dalam kesalahan walaupun saya tidak terlibat dalam kesalahan itu. Bukannya adik-adik saya yang dipersalahkan, malah saya sebagai kakak yang dipersalahkan karena dinilai gagal membimbing adik-adik saya untuk tidak melakukan kesalahan.

Situasi seperti ini ikut membangun mentalitas untuk bertanggung jawab. Anak sulung mempunyai tanggung jawab lebih. Karena ini, saya sering memarahi adik-adik saya agar tidak jatuh dalam kesalahan. Kendati demikian, kemarahan itu malah menghadirkan cekcok dan pertengkaran di antara kami.

Tidak masalah ketika diminta untuk memberikan contoh yang baik untuk adik-adik. Menjadi agak bermasalah ketika menilai bahwa anak sulung tidak boleh melakukan kesalahan. Ini bisa membuat anak sulung tidak bergerak bebas.

Jadinya, lebih bertingkah laku seperti pandangan orangtua daripada mengikuti diri sendiri. Pada saat melakukan kesalahan tertentu, kecenderungannya adalah menyembunyikan diri dan kesalahan itu.

Seyogianya, orangtua harus membuka diri pada kesalahan yang bisa dilakukan oleh anak sulung. Tidak terlalu mengharapkan agar anak sulung bebas dari kesalahan. Malahan, kesalahan anak sulung bisa dijadikan bahan pelajaran agar adik-adik yang lain tidak mengikutinya. Bukannya lebih menghakimi dan cenderung memaksa anak sulung menjadi pribadi yang harus benar dalam kata-kata dan tingkah laku.  

Pandangan keliru kedua adalah anak sulung harus mejnadi anak yang berhasil dan tidak boleh gagal.

Keberhasilan seorang anak sulung di dunia pendidikan dan dunia kerja dianggap bernilai untuk adik-adik lainnya. Namun, kegagalan seorang anak sulung menjadi tanggapan negatif di mata orangtua. Orangtua bisa saja mengaitkan keberhasilan dan kegagalan itu dengan nasib anak-anak di waktu yang akan datang.

Awalnya saya mengira pandangan seperti ini hanya terjadi di konteks keluarga kami dan mungkin di keluarga-keluarga lain di Indonesia. Beberapa kali saya menjumpai konsep yang sama di tengah masyarakat Filipina.

Pasalnya, pada saat saya memperkenalkan diri sebagai anak sulung, tak sedikit orang yang menyatakan pendapat bahwa anak sulung adalah tulang punggung keluarga. 

Makanya, pekerjaan yang saya geluti lebih dilihat sebagai cara untuk membantu keluarga seperti membiayai dari adik-adik saya atau pun orangtua di kampung.

Keberhasilan saya sebagai anak sulung pun dinilai sebagai keberhasilan keluarga. Tak heran, orang-orang yang saya dijumpai di Filipina kerap mengatakan kalau saya berperan sebagai anak sulung yang patut diteladani karena menjadi pribadi yang berhasil. Padahal, adik-adik saya jauh lebih berhasil daripada pencapaian saya.

Namun, ketika seorang anak sulung gagal, tak sedikit pihak yang mencemoh. Cemohan itu mengarah pada peran seorang anak sulung. Kegagalan itu dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memainkan peran sebagai anak sulung.

Dua pandangan keliru seperti yang dinyatakan di atas bisa saja hidup dalam keluarga kita. Anak sulung sebenarnya tidak mempunyai kehebatan apa-apa. Hanya seorang anak. Anggota keluarga yang terlahir pertama di keluarga dan mempunyai adik-adik.

Selebihnya, dia adalah pribadi yang bisa saja jatuh dalam kesalahan dan menghadapi kegagalan. Jadi, status anak sulung tidak akan bisa menghindarkan hal itu. 

Daripada terperangkap dalam pandangan seperti ini, seyogianya anak sulung tetap diperlakukan sebagai anak sebagaimana anak yang lain di dalam keluarga.

Boleh jadi, anak sulung bisa belajar dari adik-adiknya. Bahkan adik-adiknya bisa menjadi panutan dan inspirasi bagi anak sulung untuk bisa berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Dengan ini, pandangan-pandangan keliru tentang anak sulung terhindarkan.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun