Dinamika politik di Filipina hampir serupa dengan Indonesia. Bernaung di bawah asas demokrasi, iklim politik dari negara kepulauan ini juga dinamis. Kendati demikian, politik yang kental dengan ikatan keluarga juga tak terhindarkan.
Entah berapa banyak tempat yang dipimpin oleh klan dan keluarga tertentu untuk sekian tahun. Bahkan ada tempat di mana suami dan istri atau pun anak duduk pada kursi bupati dan wakil bupati. Dengan kata lain, politik dinasti juga begitu kuat hidup di dunia politik Filipina.
Saat ini, Filipina dipimpin oleh Presiden Duterte. Beberapa waktu terakhir, sebuah isu beredar. Adalah anak dari Presiden Filipina yang bernama Sara Duterte akan mencalonkan diri menjadi presiden.
Sara sendiri adalah walikota Davao, kota yang terletak di pulau Mindanao atau bagian Selatan negara Filipina. Menariknya, Sara Duterte menggantikan ayahnya yang pernah menjabat walikota Davao sebelum terpilih menjadi presiden Filipina.
Isu yang beredar tentang partisipasi anak dari Presiden Duterte ini mencuat karena musim kontestasi politik di Filipina semakin dekat. Tahun 2022 akan menjadi waktu di mana Filipina akan melangsungkan pemilihan umum. Biasanya, pemilihannya berlangsung serentak dari level presiden hingga kepala desa, termasuk anggota DPR.
Masa jabatan presiden hanya 6 tahun. Kontistusi Filipina mengatur bahwa masa jabatannya tidak boleh diperpanjang. Namun, beliau bisa saja mencalonkan diri menjadi wakil presiden.
Tak heran, isu yang beredar pun bahwa anak dan ayah akan bertarung di pilpres. Peluang terbuka untuk keduanya kalah dan menang atau pun salah satu dari antara mereka kalah atau pun menang.
Sistemnya agak berbeda dengan Indonesia. Di mana, Indonesia menerapkan sistem paket, presiden dan wakil berada di satu paket.
Sementara di Filipina, sistemnya  bisa paket tapi bisa dipilih secara individual. Belum tentu, satu paket terpilih semuanya. Bisa jadi, suara terbanyak hanya untuk presiden, sementara wakil memperoleh sedikit. Contohnya, presiden dan wakil presiden saat ini. Keduanya berasal dari dua partai berbeda, dan cenderung berseberangan. Â
Isu atau gosip politik kerap hadir untuk memanaskan situasi. Apalagi musim kontestasi politik makin dekat. Presiden Duterte sendiri membantah isu tersebut (ABS-CBN News.com 24/2/21). Bantahan ini pun barangkali mengakhiri pelbagai isu yang menghiasi dunia politik Filipina.
Terlepas dari itu, isu-isu seperti ini bisa menjadi cara untuk melihat dan mengukur bagaimana masyarakat menanggapinya, terlebih khusus tanggapan terhadap sosok yang berada di dalam isu tersebut. Tanggapan positif bisa saja berujung pada keputusan untuk maju. Namun, kalau tanggapannya cenderung negatif, keputusan untuk maju pun bisa ditangguhkan.
Hal yang sama bisa saja terjadi di iklim politik Indonesia. Isu-isu politik hadir untuk sekadar memanaskan situasi berpolitik. Isu-isu itu juga hadir untuk membangun opini publik yang bisa menjadi batu sandungan bagi obyek dari yang diisukan.
Tak masalah kalau isu-isu politik berisi hal-hal positif. Namun, kalau isu-isu politik itu hanya berisi hal-hal negatif, itu bisa menciptkan pikiran dan pola laku yang salah di mata masyarakat. Jadinya, berpolitik pun menjadi tidak sehat.
Filipina sementara berada putaran isu tentang majunya anak presiden menjadi calon presiden 2022. Tak masalah kalau dilihat dari asas demokrasi. Siapa pun patut maju berpolitik, termasuk maju kontestasi pilpres.
Namun, sekiranya isu-isu seperti itu tidak terlalu menjadi fokus berpolitik. Yang paling penting adalah bagaimana masyarakat bisa belajar berpolitik agar masyarakat memahami mengapa sosok-sosok tertentu maju dalam kontestasi. Bukannya, masyarakat hanya melihat bahwa yang maju dalam kontestasi hanya sekadar untuk mencari kekuasaan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H