Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Anak Sudah Punya Pacar, Bagaimana Baiknya Orangtua Bersikap?

13 Maret 2021   18:38 Diperbarui: 16 Maret 2021   23:09 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berpacaran adalah bagian dari realitas relasi sosial. Ini bisa menyangkut siapa saja dan pada tempo tertentu. Biasanya, sewaktu memasuki masa puber, mulai muncul ketertarikan kepada lawan jenis hingga berujung pada upaya untuk menjadikan orang yang dinaksir sebagai pacar.

Akan tetapi, tak sedikit orangtua yang gampang menerima begitu saja saat anak mereka mempunyai pacar. Apalagi kalau berpacaran sewaktu masih berada di bangku sekolah. Satu-satunya alasan adalah soal belajar. Cari ilmu dulu, baru kemudian cari pendamping hidup.

Alasan yang sangat tepat. Namun, soal perasaan seorang anak kerap kali sulit terkontrol. Karenanya, tidak sedikit orang yang menyembunyikan berpacaran dari orangtua. Main belakang. Apalagi di tengah perkembangan phone saat ini. Relasi menjadi gampang diatur di belakang layar orangtua.

Menyembunyikan pacar di belakang orangtua bisa mengandung resiko tertentu. Barangkali orangtua merasa biasa-biasa saja dengan anak mereka yang berada di masa puber. 

Pasalnya, tidak mempunyai pacar dan gampang untuk diarahkan untuk fokus pada belajar. Namun, tak disangka kalau di belakang mereka, ternyata anak mereka mempunyai pacar.

Seorang anak (sebut saja Dian) tinggal di sekolah berasrama. Tempatnya bersekolah terbilang berkualitas. Salah satu favorit banyak orang.

Bagi orangtua Dian, dia ditempatkan di sekolah berasrama itu agar menghindarinya dari pertemuannya dengan pacarnya di bangku SMP. Daripada relasi itu terus terjalin, lebih baik Dian dikirim ke sekolah berasrama. Jadinya, tidak gampang bertemu. Apalagi sekolah berasrama itu berada di luar kota.

Orangtua Dian merasa aman. Situasi terkontrol. Namun, mereka begitu terkejut ketika sebelum memasuki kelas 3 SMA, Dian berbadan dua. Rupanya, upaya untuk mengkungkung Dian dengan ditempatkan di sekolah berasrama tidak menyelesaikan persoalan. Malah, itu menambah persoalan baru.

Alih-alih ingin mengontrol pergerakan anak, malah perasaan anak yang sangat sulit terkontrol. Ternyata berada jauh dari orangtua lebih memberikan ruang untuk berpacaran.

Berbeda dengan kisah dari anak teman saya. Sebut saja nama anaknya Rini. Sewaktu Rini masih berada di SMA, dia sudah mempunyai pacar. Menariknya, orangtua Rini terbuka atas hal itu.

Berkali-kali pacarnya datang ke rumah. Karena ini, pacarnya menjadi dekat dengan orangtua Rini. Bahkan mereka terus menjalin relasi hingga di bangku kuliah. Keterbukaan orangtua ini menjadi cara untuk mengontrol anaknya dalam berelasi.

Paling tidak, orangtuanya tahu dengan siapa dia berpacaran. Juga, pacarnya juga tahu kalau relasi itu bukanlah sesuatu yang disembunyikan. Ketika dibuka di publik, dia pun bisa merasa enggan untuk merusak kepercayaan orang banyak.  

Menyembunyikan pacar dari orangtua kerap kali mengandung resiko tertentu. Pada tempat pertama, seorang anak menjadi tidak jujur kepada orangtua. Misalnya, dikira pergi keluar bersama teman-teman untuk melakukan kegiatan bermanfaat, ternyata malah pergi dengan pacarnya ke tempat lain.

Ketidakjujuran ini bisa berujung pada hal-hal negatif lainnya. Karena sudah merasa aman bersembunyi di balik ketidakjujuran kepada orangtua, perbuatan-perbuatan negatif lain pun seolah menjadi nyaman untuk dilakukan. Persoalannya, ketika perbuatan-perbuatan itu berujung pada persoalan baru, misalnya, kehamilan di luar nikah.

Untuk konteks berpacaran harus membutuhkan pemahaman dua belah pihak. Orangtua dan anak-anak. Tentu saja, seorang anak mau terbuka kalau orangtua juga membuka diri pada realitas yang terjadi pada anak. Namun, ketika orangtua bereaksi secara keras dan cenderung menolak, pada saat itu pula anak akan merasa kecewa.

Prinsipnya, mulai dari orangtua yang berperan sebagai guru di rumah. Setiap masa, selalu dibumbui dengan tingkah laku anak yang berbeda. Pemahaman pada perubahan tingkah laku ini bisa membuka pikiran orangtua untuk menerima hal-hal baru yang terjadi pada anak mereka. Termasuk, ketika anak mereka memperkenalkan pacar mereka kepada orangtua.

Soal perasaan sangat sulit untuk dikontrol. Hal seperti ini harus dipahami dengan baik agar perasaan anak yang sementara bertumbuh dalam relasi tidak dilukai oleh reaksi keras dari orangtua. Keterbukaan orangtua bisa saja membantu anak untuk mengolah rasa sukanya kepada lawan jenis, termasuk relasi berpacaran yagn sementara dibangun.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun